BALI, KOMPAS.com - Matahari di pesisir Pantai Kusamba mulai meninggi, debur ombak sahut-menyahut silih berganti. Sementara dari kejauhan, beberapa petani dengan topi jerami berjalan tergopoh memikul bejana berisi air laut.
Panasnya matahari tanpa perantara membakar kulit-kulit keriput mereka, sesekali tangan kanannya mengusap keringat yang membanjiri wajahnya.
Para petani garam Kusamba tak peduli matahari sudah di tengah ubun-ubun.
Baca juga: Sambil Menangis, Dedi Mulyadi Peluk Ibu Pencari Kayu Bakar yang Hanya Makan Nasi dengan Garam
Atas nama kebutuhan ekonomi dan demi umur yang lebih panjang, para petani garam rela membakar diri untuk memanen butiran-butiran garam dari laut.
Masyarakat Desa Kusamba belum mengetahui sejak kapan waktu pasti aktivitas pertanian garam di pesisir pantai wilayah mereka.
Namun, mereka meyakini masyarakat Desa Kusamba sudah mulai memanfaatkan air laut untuk dijadikan garam sebagai bumbu olahan dapur sejak Kerajaan Klungkung ada.
Jika menelusur jejak sejarah, Kerajaan Klungkung sudah eksis sejak abad ke-17. Sementara kehidupan masyarakat garam disebut-sebut sudah berlangsung sejak Kerajaan Klungkung masih berkuasa di sebelah tenggara Pulau Bali.
"Sejak saya kecil, orangtua saya sudah menjadi petani garam. Mereka membesarkan saya dengan biaya hasil pertanian garam. Jadi ini memang sudah turun temurun dari beberapa generasi sebelumnya," ungkap Ketua Kelompok Petani Garam Sarining Segara, I Wayan Rena (70) saat ditemui di tambak garam di pesisir Pantai Kusamba, Selasa (20/12/2022).
Diracik dengan Resep Nenek Moyang
Petani garam di pesisir pantai Kusamba ini memiliki teknik pengolahan sendiri untuk mengolah air laut menjadi kristal garam.
Mereka memiliki cara tradisional yang diajarkan turun-temurun dari kakek-nenek mereka sehingga tercipta kualitas garam yang diakui mancanegara.
"Mula-mula kita ratakan dulu pasir pantai. Kemudian kita bawa air laut dan disiramkan ke pasir yang sudah diratakan," kata I Wayan Rena menjelaskan.
Proses penyiraman air laut ke pasir pantai itu diulang sebanyak 3 hingga 4 kali. Setelah itu menunggu hingga pasir kering dengan prakiraan waktu kurang lebih 4 jam jika panas matahari mendukung.
Di tengah hamparan pasir pantai Kusamba, para petani garam ini membangun bilik-bilik kecil yang berisi beberapa bak untuk proses penyaringan air laut menjadi air garam.
Pasir yang sudah disiram air laut tadi kemudian diangkut dan dimasukkan ke dalam sebuah bak besar yang terbuat dari kayu. Mereka menyebut bak penyaringan itu bernama belong bias.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.