KOMPAS.com - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir 565.449 konten hoaks dan berita di media sosial dan internet sepanjang tahun 2021 lalu.
Tidak hanya itu, pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu, Kominfo juga menemukan sebanyak 3.356 hoaks yang tersebar pada Agustus 2018 hingga 30 September 2019 lalu.
Hoaks terbanyak yaitu mengenai isu politik sebanyak 916 konten hoaks, yang bertepatan dengan momentum Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan legistlatif (Pileg).
Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan mengatakan, bahwa benar menjelang Pemilu 2024 kuantitas dan kualitas hoaks semakin meningkat.
"Hoaks bakal bertebaran, ditambah berdasarkan berbagai survei, sebagian masyarakat kita bukan orang-orang yang risau memproduksi dan mendistribusikan hoaks," ujarnya saat dihubungi via WhatsApp, Jumat (28/10/2022).
Baca juga: Tantangan Jelang Pemilu 2024, Benarkah Konten Hoaks Semakin Masif?
Firman mengungkap, jika konten hoaks tersebar secara intensif di ruang digital, maka dampaknya bisa mengaburkan realitas.
Hal tersebut dewasa ini, kebanyakan masyarakat masih belum mampu membedakan mana informasi yang benar dan yang palsu.
Dampak hoaks terhadap suasana Pemilu 2024
Menurutnya, dampaknya kemungkinan terjadi salah pilih dan terpilihnya pemimpin yang buruk, jika hoaks beredar tanpa upaya penangkalan.
Untuk itu, menurut Firman, semua pihak harus merasa berkepentingan dalam penangkalan hoaks.
Caranya yaitu memastikan diri sendiri tidak memproduksi hoaks, tidak menyebarluaskan hoaks, dan selalu mengembangkan kemampuan menilai kualitas informasi.
"Produksi dan distribusi hoax harus diaggap sebagai aktivitas yang memalukan, tak beretika," ujarnya.
Dia menambahkan, dengan minimalisasi penyebaran hoaks, ruang digital akan dinikmati sebagai ruang yang dapat dipercaya.
"Pemilihan kandidat, tidak perlu keraguan," tambahnya.
Cara masyarakat menangkal hoaks di ruang digital: