Di wilayah ini, lanjut Devy, memang salah satunya tersusun oleh batuan vulkanik, tetapi berasal dari aktivitas gunung purba. Devy menuturkan, sebelum fenomena ini muncul telah terjadi longsor.
Longsor ini, kata dia, adalah proses pergerakan lapisan tanah penutup yang berada di atas batu lempung, di mana bebatuan itu berperan sebagai bidang gelincir longsor.
Selanjutnya, batu lempung yang bersifat kedap, sebelumnya kemungkinan berada di atas endapan rawa yang kaya akan lapisan organik, yang dapat terubah menjadi gas metana.
"Dengan kata lain, batu lempung ini berperan sebagai cap rock atau perangkap gas metana, sehingga gas metana terakumulasi dalam batuan di bawah batu lempung," kata Devy.
Setelah longsor, batu lempung akan tersingkap dan kemungkinan batu lempung ini mengalami keretakan, sehingga gas metana yang terperangkap di bawahnya naik ke permukaan, lalu mengalami kontak dengan udara di permukaan sehingga terbakar.
Air panas yang keluar, lanjut Devy, dapat berasosiasi dengan struktur geologi (sesar/patahan) di wilayah ini, dan bau belerang bisa berasosiasi dengan gas yang terperangkap tadi.
Baca juga: Aniaya Staf, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten TTS Jadi Tersangka
"Kesimpulannya adalah bahwa fenomena yang terjadi di Timor Tengah Selatan sangat kecil kemungkinan berkaitan dengan aktivitas gunung api, apalagi sampai menghasilkan gunung api yang baru," ujar dia.
Proses pembentukan gunung api, lanjut Devy, tentunya membutuhkan pergerakan magma dari dalam ke permukaan. Jika itu terjadi, maka umumnya akan disertai peningkatan kegempaan yang sangat signifikan di wilayah tersebut.
Namun, faktanya, hingga saat ini, belum dilaporkan adanya peningkatan kegempaan di wilayah tersebut. Masyarakat diharapkan tetap tenang, kemungkinan aktivitas ini akan mereda dengan sendirinya.
Meski begitu, masyarakat diminta tak beraktivitas di sekitar area untuk sementara waktu. Imbauan itu dikeluarkan karena area longsor dikhawatirkan belum stabil.
"Ancaman keracunan gas juga kecil, kalau udara terbuka karena konsentrasi gas tercacah oleh udara di sekitar. Penyelidikan lapangan lebih lanjut dibutuhkan untuk dapat menghasilkan analisis lebih mendalam," kata Devy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.