Budaya yang dirusak
Budayawan asal Bima Fahrurizki juga angkat bicara soal polemik pacuan kuda menggunakan joki cilik. Menurut dia, pacuan kuda dengan joki cilik adalah budaya asimiliasi atau budaya yang telah dirusak keasliannya.
Pada saat perayaan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina setiap 31 Desember, joki yang dipakai adalah usia dewasa dan sudah sangat terlatih. Mereka bahkan diambil dari pasukan Ananggiri Jara Mbojo (pasukan berkuda kesultanan Bima).
"Tahun 1942 oleh Jepang pacuan kuda itu dihentikan karena ada perjudian. Pada tahun 1947 diadakan lagi, jokinya masih remaja. Kemudian sekitar tahun 1960 dan 1970 jokinya usia anak tapi sekarang joki cilik. Jadi yang mengatakan joki cilik itu tradisi, itu bukan, itu salah dan kekeliruan kita," terangnya.
Fahrurizki mengungkapkan, tradisi masyarakat Suku Mbojo hanya berkuda. Dalam falsafah hidup masyarakat Bima ada istilah daha mataho (pedang yang baik untuk bertani dan sebagainya), tana mataho (tanah yang baik untuk bercocok tanam) wei mataho (istri yang baik), dan jara mataho (kuda yang baik sebagai alat transportasi).
Keempat hal ini saling melengkapi untuk menyambung kehidupan masyarakat Suku Mbojo.
Baca juga: Kisah Joki Cilik di Bima, Menantang Maut demi Nama Besar Pemilik Kuda
"Adapun yang mengatakan (pacuan kuda joki cilik) itu tradisi, ya tradisi tapi sejak kapan. Itulah makanya saya katakan budaya asimilasi, budaya yang dirusak pakem atau keasliannya. Belanda saja mengadakan pacuan kuda tidak 'sebejat' orang sekarang, dulu Belanda masih menggunakan orang-orang dewasa jadi masih punya etika atau adab mereka," jelasnya.
Fahrurizki menegaskan, pacuan kuda menggunakan joki cilik selain keluar dari tradisi leluhur masyarakat Bima, juga bagian dari praktik eksploitasi anak.
Dia mendorong pemerintah daerah menekan penyelenggara pacuan kuda agar mengikuti aturan yang dikeluarkan Pordasi, termasuk dalam hal penentuan kriteria jokinya.
"Pemerintah harus menggunakan standar Pordasi kalau memang ada di dalam naungan Pordasi, di sana ada diatur soal joki dewasa," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.