BIMA, KOMPAS.com - Masyarakat Suku Mbojo di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), secara historis gemar berkuda.
Pada massa kesultanan, kuda dimanfaatkan sebagai alat transportasi untuk mengangkut hasil bumi, bahkan menjadi kendaraan perang pasukan berkuda di Istana Bima.
Dalam literatur Bima, naskah kuno, catatan Belanda, hingga dokumen Sultan Muhammad Salahuddin, tidak dijumpai perihal pacuan kuda.
Pada massa itu, hanya ada satu surat dari masyarakat Bima yang meminta Sultan Muhammad Salahuddin menegur panitia lomba agar tidak melaksanakan pacuan kuda yang digelar pada Jumat.
"Saat itu panitianya adalah orang Belanda. Bima termasuk wilayah Hindia Belanda, dan banyak budaya asing yang masuk akibat penaklukan wilayah dan penjajahan, salah satunya adalah pacuan kuda tentunya joki dewasa," ungkap Kepala Museum Kebudayaan Samparaja Bima Dewi Ratna Muchlisa Mandyara di Bima, Senin (26/9/2022).
Menurut dia, orang Eropa, terutama bangsawan, sangat gemar berkuda dan menguji ketangkasan di arena pacuan. Konon, putra bangsawan yang mahir berkuda akan populer dan menjadi incaran putri bangsawan Eropa.
Budaya ini masuk ke Nusantara, termasuk Bima, karena dibawa Belanda. Budaya ini diterima baik oleh masyarakat, bahkan hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina pada 1925, dirayakan dengan pacuan kuda di Mangge Maci Bima.
Mulai saat itu, kata Dewi Ratna Muchlisa, pacuan kuda dengan joki dewasa menjadi tradisi baru di Bima.
Baca juga: Ironi Joki Cilik Pacuan Kuda, Tradisi yang Rentan Eksploitasi
"Fotonya ada di Museum Asi Mbojo dan Museum Samparaja sebagai bukti," ujarnya.
Pacuan kuda dengan joki dewasa ini terus berkembang, tetapi sempat terhenti saat masuknya kekuasaan Jepang. Budaya ini kemudian berlanjut setelah Kemerdekaan RI dan wafatnya Sultan Muhammad Salahuddin.
Seiring bertambah waktu, joki cilik pun muncul dan menjadi lebih lumrah di pacuan kuda.
Terobosan baru penggunaan joki kecil dan mungil ini agar kuda lebih lincah, sehingga bisa melaju dengan kencang dan menjadi pemenang dalam pacuan.
Dewi menegaskan, apapun alasannya, pacuan kuda menggunakan joki cilik bukan tradisi leluhur masyarakat Suku Mbojo.
Dewi berharap, para pihak berupaya mengembalikan keaslian budaya ini, yakni melaksanakan pacuan kuda dengan joki remaja atau dewasa.
"Joki dewasa dan remaja itulah yang terjadi zaman dulu. Joki cilik itu justru tradisi baru yang dibuat para penggemar pacuan," jelasnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.