Mereka lebih banyak memakai benang yang sudah dijual dipasaran untuk menenun karena lebih praktis.
Sehingga kain yang dibuat lebih cepat selesai dan cepat bisa dijual atau
untuk dipakai sendiri atau untuk keperluan adat.
Kain tenun pada masyarakat Tanimbar terdapat hampir pada semua desa dengan motif yang berbeda antara desa satu dengan desa lainnya.
Sebagain besar penenun adalah perempuan. Sejak dulu, saat anak perempuan sudah beranjak dewasa maka dia akan diajari menenun.
Baca juga: Pulihkan UMKM Tenun NTT, Bank Indonesia Gelar Exotic Tenun Fest
Jika belum bisa menenun, maka perempuan belum dianggap dewasa dan belum siap untuk menikah.
Dahulu, mereka membuat kain tenun dengan tiga warna yakni hitam, kuning dan merah.
Warna hitam didapatkan dari daun taru. Sementara warna kuning didapatkan dari pohong bengkudu atau nengwe. Sedangkan untuk warna merah, mereka menggunakan kulit pohon mangrove yang disebut dengan tongke/mange-mange.
Saat ini penenun jarang menggunakan benang yang terbuat dari kapas karena menenun membutuhkan waktu lebih lama, kain agak berat sehingga kurang diminati pembeli lokal.
Mereka lebih suka menggunakan benang pabrik dengan pewarna kain pabrikan.
Baca juga: Kain Tenun Donggala: Latar Belakang, Motif, dan Warna
Para penenun yang sebagian besar perempuan akan mengerjakan satu helai kain selama tiga hari jika dikerjakan dari pagi sampai sore.
Namun jika dikerjakan di antara pekerjaan rumah tangga lainnya, satu lembar kain akan diselesaikan dalam waktu 7 hari.
Pada umumnya penenun di Tanimbar akan mengerjakan kain tenun seorang diri mulai dari awal pembuatan motif hingga selesai.
Motif biasanya akan dibuat terlebih dahulu di sehelai kertas. Pada umumnya motif kain tenun baik klasik maupun modern tak berbeda jauh.
Baca juga: Keindahan Tenun Gringsing Bali, Hadiah untuk Delegasi KTT G20
Motif ini berfungsi sebagai pemujaan terhadap roh-roh tertentu, kehidupan leluhur yang diciptakan secara simbolik dalam bentuk keindahan yang diabstrakkan.