Joki cilik itu harus bertaruh dengan rasa takut. Dalam satu pertandingan, satu joki cilik bisa memacu lima hingga 15 kuda. Meskipun, mereka tidak mendapat perlindungan yang sesuai dengan standar Pesatuan Olah Raga Berkuda Indonesia (Pordasi).
"Anak-anak namanya hanya ditulis di lembaran kertas, diperiksa sebentar menggunakan stetoskop, hanya itu lalu bertanding, miris," katanya.
Pihaknya telah melaporkan dugaan eksploitasi anak dalam penyelenggaraan event pacuan kuda di Sumbawa. Sejumlah orang telah diperiksa oleh tim PPA Direktorat Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda NTB.
Baca juga: Joki Cilik Muncul di Iklan MXGP, Aktivis Anak Kecam Gubernur NTB
Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol Artanto yang dikonfirmasi terkait hal itu mengatakan bahwa laporan itu masih dalam tahap penyelidikan.
"Masih tahap penyelidikan dari pengaduan tersebut, saat ini sudah enam orang yang diambil keterangannya oleh pemeriksa," katanya singkat melalui telepon.
Baca juga: NTB Masuk 10 Provinsi Termiskin di Indonesia, Gubernur: Pemberdayaan Masyarakat Lebih Penting
Perlu ada aturan
Budayawan asal Sumbawa, Aries Zulkarnain mengatakan, budaya itu bersifat dinamis sehingga tidak mesti harus dipertahankan.
Menurutnya, pada awalnya kuda yang dipacu itu ukurannya kecil. Sehingga, penunggangnya adalah anak kecil. Namun tidak dengan saat ini. Kuda yang ditunggangi anak kecil itu adalah kuda ukuran besar.
Aries juga berharap ada perlindungan keselamatan bagi anak yang menjadi joki di arena pacuan.
"Dahulu kuda yang digunakan adalah kuda jenis anjing (kuda kecil) seperti ukuran anjing, bukan kuda besar, penunggangnya usia anak anak, karena kudanya kecil," kata Zulkarnain.
Dewi Ratna, budayawan asal Bima meragukan bahwa joki anak itu adalah tradisi yang turun temurun. Menurutnya, pacuan kuda yang berkembang di Sumbawa dan Bima berawal dari perayaan ulang tahun Ratu Belanda pada tahun 1925. Jokinya bukan anak, tetapi orang dewasa.
“Tradisi bisa diubah apabila bertentangan dengan undang-undang dan hukum yang berlaku di negara ini," kata Dewi.