SOLO, KOMPAS.com - Kasus seorang jaksa gebrak meja hingga terlibat adu mulut bermula saat menjawab pertanyaan dari pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron Solo, saat pelimpahan berkas di Kejaksaan Negeri Solo, Jawa Tengah.
Direktur LBH Mawar Saron, Andar Beniala Lumban Raja mengatakan, kejadian ini terjadi pada Selasa (19/6/2022).
Saat itu, dirinya mempertanyakan permohonan penahanan penangguhan yang diajukan tidak mendapat balasan resminya.
Andar mengatakan, permohonan penangguhan penahan kliennya telah diajukan sejak Selasa (12/6/2022) lalu.
Baca juga: Dituding Arogan, Jaksa Terlibat Aksi Adu Mulut hingga Gebrak Meja di Kejari Solo
Namun, hingga Selasa (19/6/2022), tidak ada balasan.
Andar menilai, penangguhan ini diajukan karena sudah ada perdamaian antara pihak korban dan kliennya. Serta, perilaku klien juga dianggap kooperatif selama mengikuti proses hukum.
"Kami pertanyakan penanguhan penahanan. Ketika kami tanyakan, Pak mohon dijawab surat resminya kenapa belum ada. Nah, kemarin langsung memukul meja itu, kan kami mempertanyakan kalau klien sudah kami pertemukan. Kalau enggak arogan (gebrak meja) emang boleh seperti itu pelayanan publik? itu kan enggak boleh," kata Andar, pada Kamis (21/7/2022).
Andar menuturkan, pihaknya juga meminta kasus ini diselesaikan secara restorative justice.
Mengingat saat proses penyelidikan sudah ada etika perdamaian dan bersifat kooperatif.
"Sementara kan menurut, saya sampaikan itu surat edaran Jaksa Agung kalau ancamannya tidak ini tidak melebihi 5 tahun, bisa dilakukan restorative justice. Nah, kemudian selain kami ini juga kooperatif selama di kepolisian, dan klien kami juga ingin melanjutkan kuliah," ujar dia.
Dalam proses mediasi ini, pihak korban meminta ganti rugi kepada tersangka sebesar Rp 30 juta.
Namun, dari pihak tersangka hanya sanggup membayar Rp 10 juta. Sehingga belum adanya kesepakatan perdamaian antar keduanya.