LOMBOK TENGAH, KOMPAS.com - Keluarga Marwi (30), pekerja migran Indonesia ilegal yang menjadi korban kapal tenggelam di perairan Pulau Putri, Batam, masih menanti kabar dari pemerintah.
Meski belum mendapat informasi resmi dari pemerintah, keluarga Marwi tetap menggelar tahlilan, tradisi untuk mendoakan orang yang meninggal dunia selama sembilan hari.
Tahlilan itu digelar keluarga dan masyarakat sekitar di kediaman Marwi, Dusun Bunpek, Desa Tumpak, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Kita tetap laksanakan zikir (tahlilan) di rumah, ini sudah tujuh hari dilakukan sama keluarga dan masyarakat setempat," kata ibu Marwi, Alisah di Lombok Tengah, Jumat (23/6/2022).
Alisan mengaku pernah mendatangi dukun untuk mencari tahu keberadaan anaknya itu.
"Ke dukun pernah saya pergi, katanya anak saya (Marwi) sudah mati tapi jasadnya masih utuh, dan akan kembali ke sini untuk dimakamkan," kata Alisah.
Alisan memiliki sembilan anak. Sebagian besar anaknya bekerja sebagai pekerja migran di Arab Saudi dan Malaysia.
"Sedih anak saya hilang satu, kemarin dia pamitan salim sama saya, tapi tidak mau diantar ke bandara. Ada sembilan anak saya, ada yang pergi ke Arab, Malaysia banyak, " kata Alisah.
Istri Marwi, Sumaini (25), yakin suaminya ada dalam rombongan pekerja migran di kapal nahas tersebut. Sebelum insiden kapal tenggelam itu, suaminya sempat memberi kabar lewat pesan singkat.
"Sempat SMS malam Jumat sekitar Maghrib itu, dia kabarkan mau nyeberang (ke Malaysia), dia minta didoakan agar selamat," kata Sumaini.
Sejak insiden kapal tenggelam itu, Sumaini mencoba menghubungi Marwi. Namun, ponsel suaminya tak kunjung aktif.
"Sampai sekarang handphone-nya tidak pernah aktif. Tapi saya yakini dia (korban) setelah dapat informasi dari temannya yang selamat, kalau Marwi tidak ada di penampungan," kata Sumaini.
Sudah pernah bekerja di Malaysia
Menurut Sumaini, suaminya telah dua kali pergi ke Malaysia lewat jalur ilegal. Suaminya berangkat ke Malaysia untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.
"Di sini ada kerjaan tapi sedikit, kadang jadi tukang, petani, jadi dia memilih lebih baik ke Malaysia," kata Sumaini.
Sumaini menambahkan, suaminya berangkat ke Malaysia karena sudah dijanjikan pekerjaan oleh bekas majikannya. Marwi akan dipekerjakan secara ilegal sehingga harus berangkat melalui Batam.
"Dia tidak mengeluarkan biaya, bosnya yang bayar. Karena dia sudah di tunggu oleh toke, bosnya yang dulu tempat ia bekerja," kata Sumaini.
Sebelumnya, 30 pekerja migran asal Nusa Tenggara Barat diduga menjadi korban kecelakaan kapal di Perairan Pulau Putri, Batam, Kamis (16/6/2022) pukul 19.30 WIB.
Diduga puluhan PMI tersebut berangkat dengan cara non prosedural alias ilegal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.