Dalam jurnal yang ditulis Ernie H. Purwaningsih, Departemen Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta yang berjudul Jamu, Obat Tradisional Asli Indonesia Pasang Surut Pemanfaatannya di Indonesia, istilah jamoe ada sejak abad 15-16 M yang tersurat dalam primbon di Kartosura.
Secara lengkap, uraian jamu terdapat di Serat Centini yang ditulis Kanjeng Gusti Adipati Anom Mankunegoro III tahun 1810-1823.
Sementara itu pada tahun 1850, R Atmasuoana II menulis sekitar 1734 ramuan jamu.
Jamu sendiri adalah singkatan dari djampi yan berarti doa atau obat, dan oesodo (husada) yang berarti kesehatan.
Dengan kata lain, djamoe atau jamu adalah dia atau obat untuk meningkatkan kesehatan.
Ernie menulis, sejak zaman penjajahan Belanda yakni sekitar abad ke-17, para dokter berkebangsaan Belanda, Inggris atau Jerman tertarik mempelajari jamu.
Bahkan dr. Carl Waitz pada tahun 1829 menuliskannya dalam buku yang berjudul “Practical Observations on a Number of Javanese Medications”.
Dalam buku tersebut ia menjelaskan bahwa obat yang lazim digunakan di Eropa dapat digantikan oleh herbal/tanaman (jamu) Indonesia, misalnya rebusan sirih (Piper bettle) untuk batuk, rebusan kulit kayu manis (Cinnamomum) untuk demam persisten.
Sementara daunnya digunakan untuk gangguan pencernaan.
Pada tahun 1850, di lokasi yang sekarang menjadi RS Gatot Subroto (The Weltevreden Military Hospital), seorang ahli kesehatan Geerlof Wassink membuat kebun tanaman obat dan menginstruksikan kepada para dokter agar menggunakan herbal untuk pengobatan.
Hasil pengobatan tersebut kemudian dipublikasikan di Medical Journal of the Dutch East Indies.
Pada abad ke-19 diterbitkan buku setebal 900 halama tentang pemanfaatan jamu di Indonesia oleh dr. Cornelis L. van der Burg yaitu Materia indica.
Sayangnya dengan ditemukan teori baru tentang bakteri oleh Pasteur dan ditemukannya sinar X, pemanfaatan jamu menurun drastis pada awal tahun 1900.
Lalu di akhir tahun 1930, dr. Abdul Rasyid dan dr. Seno Sastroamijoyo menganjurkan penggunaan jamu sebagai upaya preventif untuk menggantikan obat yang sangat mahal.
Pada tahun 1939, IDI mengadakan konferensi dan mengundang dua orang pengobat tradisional untuk mempraktikkan pengobatan tradisional di depan anggota IDI.
Mereka tertarik untuk mempelajari seni pengobatan tradisional Indonesia dan pada tahun yang sama, di Solo diadakan konferensi I tentang jamu yang dihadiri juga oleh para dokter.
Penggunaan jamu meningkat tajam saat penjajahan Jepang. Dalam kurun waktu tersebut, terdapat tiga pabrik jamu besar yaitu PT Jamoe Iboe Jaya (1910), PT Nyonya Meneer (1919) dan PT Sido Muncul (1940).
Pada tahun 1966, konferensi II tentang jamu kembali digelar di Solo untuk mengangkat kembali penggunaan jamu setelah hampir 20 tahun terlupakan akibat perang dunia II yang berdampak pada sosial-ekonomi masyarakat Indonesia terutama di Jawa.
Sejak saat itu, banyak pabrik jamu bermunculan terutama di wilayah Jawa Tengah.
Seiring berjalannya waktu, teknologi pembuatan jamu berkembang dari cara tradisional menjadi modern dengan berbagai jenis olahan, yang bahkan telah memiliki standar dan bersertifikat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.