KOMPAS.com - Jamu diajukan sebagai Budaya Tak Benda (WBTB) milik Indonesia ke Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Minggu (13/3/2022).
Dokumen jamu telah disusun oleh Tim Kerja Nominasi Budaya Sehat Jamu bersama Gabungan Pengusaha (GP) untuk melengkapai syarat yang telah ditetapkan oleh UNESCO.
Jamu menjadi salah satu dari 6 WBTB milik Indonesia yang akan diajukan ke UNESCO pada tahun 2022.
Baca juga: Kesenian Adiluhung Reog Ponorogo Dikalahkan oleh Jamu
Penggunaan ramuan untuk pengobatan tercantum di prasasti sejak abad 5 M di relief candi Borobudur, candi Prambanan dan di candi Penataran pada abad 8-9 M.
Berdasarkan Prasasti Madhawapura yang tidak memiliki angka tahun, saat itu terdapat profesi yang disebut sebagai “Acaraki”.
Profesi ini diberikan bagi mereka yang andal dalam meracik jamu.
Seorang Acaraki akan melakukan meditasi dan berpuasa agar ia mendapatkan energi positif saat meracik jamu sehingga dapat menghasilkan jamu yang berkhasiat.
Baca juga: Bupati Kaget Nadiem Makarim Pilih Usulkan Jamu Dibandingkan Reog Ponorogo ke UNESCO
Selain itu, relief di Candi Surowo dan Candi Rambi, serta Korawacrama di Jawa Timur menunjukkan bahwa kebiasaan minum jamu sering digunakan sebagai pengobaan tradisional.
Kala itu perempuan lebih berperan dalam memproduksi jamu, sedangkan pria berperan mencari tumbuhan herbal alami.
Fakta itu diperkuat dengan adanya temuan artefak Cobek dan Ulekan –alat tumbuk untuk membuat jamu. Artefak itu bisa dilihat di situs arkeologi Liyangan yang berlokasi di lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah.
Konon, di zaman dulu, rahasia kesehatan dan kesaktian para pendekar dan petinggi-petinggi kerajaan berasal dari latihan dan bantuan dari ramuan herbal.
Baca juga: Sentra Jamu Gendong di Sleman, dari Jualan Keliling Digendong Sampai Dapat Pesanan Hotel-hotel