Akibatnya, sambungnya, praktek dari aturan tersebut tidak dapat dengan mudah dilakukan.
"Situasi ini tentu menjadi semakin rumit ketika kondisi sosial politik kita cenderung mengalami fragmentasi sebagai imbas dari pemilu 2014 maupun 2019," katanya melalui pesan WhatApps kepada Kompas.com, Sabtu (19/3/2022) sore.
"Kondisi ini seringkali menimbulkan multi tafsir bahkan silang pendapat yang berujung pada konflik persepsi dan cara pandang. Apabila ketersediaan sarana yang tidak memadahi bertemu dengan situai sosial politik masyarakat yang mengalami konflik cara pandang tersebut, maka bukan tidak mungkin potensi konflik tersebut akan terjadi," sambungnya.
Baca juga: Warga yang Cekcok karena Pengeras Suara Mushala Telah Sepakat Berdamai
Kata Siti, situasi tersebut sebenarnya sudah sering terjadi di banyak wilayah, seringkali konfliknya laten, namun sekarang jadi manifest bagaimanapun tidak terlepas dari tahun-tahun politik yang telah kita masuk, apapun bisa digoreng dan digiring pada isu tertentu.
Kata Siti, SE Menteri Agama tidak bisa jalan sendiri, dia butuh beragam instrumen untuk bisa direalisasikan, termasuk persiapan sosial masyarakat agar tidak terjadi konflik horisontal, utamanya yang mengarah ke SARA.
Tapi, kata Siti, memang persoalan persepsi pada masyarakat tentang suara toa juga bisa beragam.
"Persepsi yang dilembagakan menjadi perilaku dan budaya masyarakat kita telah mengakar, apalagi Riau, yang mayoritas warga muslim, tentu menggunakan toa masjid untuk berbagai keperluan ibadah menjadi hal yang biasa," ujarnya.
"Persoalannya hari ini kita dihadapkan pada situasi yang mesti dirubah, karena masyarakat kita tidaklah tunggal, bahkan majemuk. Tidak hanya soal keyakinan, tapi juga kepentingan, dan negara menjamin soal itu," lanjutnya