KOMPAS.com - Kesultanan Samawa adalah salah satu diantara 6 kerajaan yang pernah ada di Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Pulau Sumbawa adalah Kerajaan Bima, Dompu, Papekat, Sanggar, Tambora, dan Samawa.
Suku Sumbawa atau Samawa mendiami bagian barat Pulau Sumbawa atau bekas wilayah Kesultanan Sumbawa.
Kesultanan Samawa adalah salah satu di antara kerjaan islam di pulau Sumbawa.ilayahnya meliputi Kabupaten Sumbawa Besar dan Kabupaten Sumbawa Barat serta pulau-puau kecil di sekitarnya.
Kesultanan Samawa berdiri sekitar abad ke 17 hingga 1958.
Baca juga: Istana Dalam Loka, Saksi Kejayaan Kesultanan Sumbawa
Kehadiran Islam di Pulau Sumbawa terkait dengan letak geigrafis pulau ini, seperti yang dilaporkan Tome Pires, musafir Portugis.
Letak geografis Pulau Sumbawa yang menjadi jalur pelayaran perdagangan rempah-rempah dari Malaka dan Maluku, kemudian perjalanan melalui pesisir utara Jawa, Bali, Lombok, dan Sumbawa telah dibina sejak awal 16.
Islam dibawa oleh para mubaligh Arab dari Gresik sambil berniaga. Selain itu, Islam dibawa orang-orang Bugis secara damai melalui perkawinan.
Kemunculan pusat kekuasaan islam (Kesultanan Samawa) di Tana Samawa (Sumbawa Barat) belum diketahui secara pasti karena sedikitnya arsip-arsip tentang kasultanan ini.
Kesultan Samawa diperkirakan telah berdiri sebelum 1648, meskipun tidak diketahui siapa rajanya.
Baca juga: Istana Dalam Loka, Saksi Kejayaan Kesultanan Sumbawa
Kesulatanan Samawa sempat memerintah 18 atau 19 sultan, dimulai dari Mas Pamayan atau Mas Cini (1648-1668), sebagai raja kedua.
Kemudian, Sultan Muhammad Kaharuddin (1931-1958) sebagai sultan yang ke 19.
Lalu Sultan yang paling lama berkuasa adalah Sultan Amrullah (1837-1883). Ada yang mengatakan ia sultan ke 13, namun ada yang mengatakan ia adalah sultan ke 17.
Secara geografis, Kasultanan Samawa berbatasan dengan Laut Flores di sebalah utara, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Selat Alas, dan di sebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Dompu.
Dalam birokrasi Kesultanan Samawa, pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan adalah sultan, diangkat berdasarkan turun-temurun dari Dinasti Dewa Dalam Bawa oleh suatu lembaga yang disebut Dewan Hadat atau Dewan Hadat Syara atau Dewan Syara Hukum Islam.
Baca juga: Mau ke Komodo, Lewat Sumbawa Saja
Sultan dalam bahasa Sumbawa disebut Datu Mutar, tetapi oleh rakyatnya disebut Dewa atau Dewa Mas Samawa.
Gelar Dewa adalah gelar yang lazim dipakai untuk golongan kesatria dalam sistem kasta di Bali.
Penghasilan sultan diperoleh dari hasil lahan pertanian milik sultan dan dari pajak (belasting), baik pajak hasil bumi maupun pajak perdagangan, terutama pajak ternak dan opium.
Sultan Samawa memiliki ladang atau sawah yang digarap dan ditanami oleh penduduk ibu kota kerajaan (tau juran) tanpa upah imbalan.
Selain itu, ada tiga peganton luar, yaitu Demung Mapin, Bumi Ngampo, dan Demung Kroya. Setiap tahunnya, masing-masing menyetor 300 ikat padi kepada sultan sebagai pajak yanng disebut pamangan.
Sultan juga mendapatkan penghasilan dari pajak, antara lain pajak penjualan (perdagangan) hasil bumi, ternak, dan opium.
Baca juga: Kejarlah Ombak sampai Sumbawa Barat
Keberadaan Kesultanan Sumbawa di masa lampau dibuktikan dengan adanya peninggalan. Di Kota Sumbawa besar hingga saat ini masih berdiri dengan kokoh sebuah bangunan bekas istana Sultan Sumbawa yang disebut Dalem Loka (Istana Tua) atau disebut Bale Rea (Rumah Besar atau Rumah Raja).
Tidak jauh dari Dalem Loka terdapat Makam Sampar, kompleks makam sultan-sultan Sumbawa dan keluarganya.
Sumber: jlka.kemenag.go.id
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.