Dubes Hermono mengatakan kasus kerja paksa yang dialami para pembantu rumah tangga ini terjadi dalam semua level masyarakat di Malaysia.
"Menurut saya forced labour (kerja paksa) yang paling parah dan masih ada adalah di sektor rumah tangga dan ini tak pernah ditangani secara serius. Makanya kami minta, Malaysia tandatangani MOU (perlindungan tenaga kerja) atau kita tetap stop pengerahan tenaga kerja," kata dia.
Hermono mengatakan yang dilakukan KBRI bila ada kasus gaji tak dibayar adalah menghubungi majikan dan akan mengontak polisi bila majikan tak bisa dihubungi. Atau tak mau bekerja sama menyelesaikan masalah, atau ada kasus kekerasan fisik.
"Setiap hari dapat laporan seperti ini, kesimpulan saya di luar sana banyak sekali, tapi tak bisa dijangkau karena mereka di dalam rumah majikan," kata dia.
"Ini masif, di seluruh level masyarakat dari orang biasa, sampai terhormat dari pejabat sampai orang biasa juga melakukan hal-hal yang sifatnya forced labour (kerja paksa), gaji tak dibayar, mempekerjakan undocumented workers (pekerja tak berdokumen resmi), tidak boleh berkomunikasi. Paspor ditahan, ini banyak sekali, kesimpulan saya ini masif, karena tiap hari terima laporan," kata Hermono lagi.
Dengan begitu banyaknya kasus pekerja migran tak berdokumen ini, kata Hermono, pihaknya juga tidak dapat melaporkan apapun ke Kementerian Tenaga Kerja setempat dan diselesaikan pihak KBRI.
Dari 2017 sampai tahun ini terdapat lebih dari 1.700 pekerja migran yang ditampung di penampungan KBRI di Kuala Lumpur dengan sebagian besar kasus gaji tak dibayar.
Untuk kasus Larsini dan Kholifah, kata Hermono, KBRI berhasil menagih dan majikan telah membayar gaji mereka masing-masing sebesar RM7.500 (Rp25.7 juta) dan ongkos pulang sekitar RM1.500 (Rp5,1 juta).
Keduanya direncanakan akan dipulangkan pada Jumat (4/2/2022).
Hermono juga mengatakan berdasarkan UU Keimigrasian Malaysia, pekerja gelap dan majikan yang mempekerjakan harus sama-sama dikenakan hukuman.
"Tapi dalam praktiknya, jarang majikan yang dikenakan sanksi. Jadi tak ada efek jera. Saya melihatnya, justru ada preferensi majikan memilih pekerja yang tak punya dokumen resmi, lebih murah, tanggung jawab kurang, gaji bertahun-tahun tak dibayar. Ini masalahnya adalah penegakan hukum di Malaysia terhadap majikan yang mempekerjakan pekerja tak berdokumen dan melakukan forced labour, sangat lemah, jadi tak ada efek jera," kata dia.
Baca juga: Mengungkap Praktik Perdagangan Anak Buruh Migran di Indramayu, Pelaku Kadang Kerabat Dekat...
Tetapi Hermono juga mengatakan ia mengakui ada kelemahan di Indonesia dalam pencegahan praktik perdagangan orang.
"Persoalan sekarang ada dua isu, satu kelemahan pencegahan di dalam negeri, menyangkut banyak instansi, BP2MI, imigrasi, polisi dan TNI. Dalam beeberapa kasus yang kita jumpai, instansi yang seharusnya melakukan pencegahan, justru bagian dari masalah. Ini yang menjadi masalah," tambah dia.
Di Malaysia, menurutnya, ada juga faktor pendorong, yaitu kekurangan pekerja rumah tangga.
Hermono mengatakan pihaknya akan menginfokan institusi terkait untuk mengejar pelaku pengiriman ibu dan anak ini ke Malaysia.
Baca juga: Tak Digaji, Ini Kisah Ibu dan Anak Asal Rembang Jadi Korban Kerja Paksa di Malaysia (2)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.