Penolakan warga pun telah disampaikan berulang-ulang, baik ke pemerintah maupun pihak perusahaan.
Penolakan warga itu dilandasi dengan alasan keselamatan ruang hidup warga dan masa depan anak cucu.
"Rencana penambangan panas bumi yang persis berimpitan dengan pemukiman dan rumah adat, sumber air, lahan pertanian/perkebunan, fasilitas publik seperti sekolah dan gereja, itu tentu saja membawa ancaman besar bagi warga," kata Nardi.
"Kekhawatiran akan seluruh risiko itu beralasan, mengingat telah banyak contoh buruk ihwal ekstraksi panas bumi yang menghancurkan keselamatan warga dan ruang hidupnya," tegas Nardi, Rabu.
Baca juga: Kecelakaan Kapal di Manggarai Barat, 2 Korban Tewas, 4 Selamat
Ia menyebutkan, di Ulumbu, Kabupaten Manggarai, misalnya, operasi panas bumi telah menyebabkan atap seng rumah-rumah warga karatan, tanaman cengkih, kakao, dan sejenisnya menjadi tak produkti, termasuk kesehatan warga ikut terganggu.
Hal serupa juga terjadi di Mataloko, seng-seng rumah dengan mudah berkarat, sumber air tercemar, bahkan lahan pertanian seperti sawah yang jaraknya sekitar dua kilometer dari titik pengeboran luluh lantak, tersembur lumpur panas hingga kini.
Di luar Pulau Flores, kata dia, bahaya penambangan panas bumi juga telah banyak terjadi.
Salah satunya di desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal.
Lima warga disebut tewas dan setidaknya puluhan korban lainnya masih menjalani perawatan di rumah-sakit, karena semburan gas dari sumur bor proyek ekstraksi panas-bumi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) pada Senin, 25 Januari 2021.
Baca juga: Tembus Angka 111 di Awal Tahun, Kasus DBD di Manggarai Barat Tertinggi di NTT