LABUAN BAJO, KOMPAS.com - Upaya paksa pemerintah dan perusahaan yang terus melanjutkan proses pengembangan tambang panas bumi (geotermal) di Wae Sano, Kecamatan Sanonggoang, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, mendapatkan penolakan.
Masyarakat dan para mahasiswa dari PMKRI Ruteng pun melakukan demonstrasi besar-besaran di Kantor Bupati Manggarai Barat, Rabu (2/2/2022).
Baca juga: Seorang Pria di Manggarai Timur Diduga Aniaya Ibu Kandungnya
Aksi demonstrasi itu pun berlangsung ricuh. Hal itu disebabkan, pihak Satpol PP dan kepolisian tidak membuka pintu gerbang menuju kantor Bupati Manggarai Barat.
Padahal massa aksi menginginkan bertemu dengan Bupati Manggarai Barat, Edi Endi.
Lantaran tak kunjung dibuka, massa aksi pun mendorong pintu gerbang hingga roboh.
Mereka pun akhirnya bisa membuka gerbang hingga beberapa demonstran menerobos masuk ke halaman kantor Bupati Manggarai Barat.
Baca juga: Viral Video Ledakan Tabung Minyak Tanah di Manggarai Barat, Ini Kata Polisi
Meskipun sudah berhasil masuk, massa aksi tetap tidak bisa bertemu dengan Bupati Edi Endi.
Ketua PMKRI Ruteng, Nardianus Nandeng, dalam orasinya, menegaskan, warga Wae Sano, termasuk juga yang mengitari danau Sano Nggoang, sedari awal telah menolak rencana proyek geotermal tersebut.
Baca juga: Pulang Beli Rokok, Seorang Pria di Manggarai Barat Dibacok Pakai Parang
Penolakan warga pun telah disampaikan berulang-ulang, baik ke pemerintah maupun pihak perusahaan.
Penolakan warga itu dilandasi dengan alasan keselamatan ruang hidup warga dan masa depan anak cucu.
"Rencana penambangan panas bumi yang persis berimpitan dengan pemukiman dan rumah adat, sumber air, lahan pertanian/perkebunan, fasilitas publik seperti sekolah dan gereja, itu tentu saja membawa ancaman besar bagi warga," kata Nardi.
"Kekhawatiran akan seluruh risiko itu beralasan, mengingat telah banyak contoh buruk ihwal ekstraksi panas bumi yang menghancurkan keselamatan warga dan ruang hidupnya," tegas Nardi, Rabu.
Baca juga: Kecelakaan Kapal di Manggarai Barat, 2 Korban Tewas, 4 Selamat
Ia menyebutkan, di Ulumbu, Kabupaten Manggarai, misalnya, operasi panas bumi telah menyebabkan atap seng rumah-rumah warga karatan, tanaman cengkih, kakao, dan sejenisnya menjadi tak produkti, termasuk kesehatan warga ikut terganggu.
Hal serupa juga terjadi di Mataloko, seng-seng rumah dengan mudah berkarat, sumber air tercemar, bahkan lahan pertanian seperti sawah yang jaraknya sekitar dua kilometer dari titik pengeboran luluh lantak, tersembur lumpur panas hingga kini.
Di luar Pulau Flores, kata dia, bahaya penambangan panas bumi juga telah banyak terjadi.
Salah satunya di desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal.
Lima warga disebut tewas dan setidaknya puluhan korban lainnya masih menjalani perawatan di rumah-sakit, karena semburan gas dari sumur bor proyek ekstraksi panas-bumi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) pada Senin, 25 Januari 2021.
Baca juga: Tembus Angka 111 di Awal Tahun, Kasus DBD di Manggarai Barat Tertinggi di NTT
Hal itu belum termasuk kasus ledakan dan semburan gas di proyek PLTP Ijen yang juga memakan korban.
Serta semburan cairan panas bumi di proyek Rimbo Panti, yang kemudian digelontor langsung ke wilayah suaka-alam Rimbo Panti, Pasaman, Sumatera Barat.
Lima tahun lalu, semburan gas dari sumur bor GeoDipa di kavling ekstraksi panas bumi Dieng juga telah berakibat langsung pada kehidupan dan nafkah tani warga.
"Meski bahaya penambangan panas bumi begitu nyata dan sangat berbahaya, pemerintah dan perusahaan justru terus melanjutkan proses proyek tambang panas bumi. Berbagai upaya paksa dilakukan, salah satunya “konsultasi publik” yang dikemas dengan acara lonto leok," katanya.
PMKRI menilai, upaya paksa atas pengembangan tambang panas bumi di Wae Sano merupakan bukti nyata betapa keberpihakan pemerintah itu justru kepada korporasi, bukan kepada warga.
PMKRI memandang, rencana penambangan panas bumi di Wae Sano, termasuk wilayah kerja panas bumi (WKP) lainnya di Kepulauan Flores, sama sekali tidak berangkat dari kebutuhan riil warga.
Baca juga: Kasus DBD di Manggarai Barat Naik Tajam di Awal Tahun, Ada 116 Kasus
Sebaliknya, ekstraksi panas bumi dalam skala raksasa itu dianggap hanya memenuhi kebutuhan industri pariwisata.
Untuk itu, bersama warga Wae Sano, PMKRI mendesak Menteri ESDM melalui Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menghentikan seluruh proses ekstraksi panas bumi Wae Sano, juga WKP lain di Flores dan mencabut seluruh izin panas bumi yang telah dikeluarkan.
Mereka juga mendesak Bank Dunia agar membatalkan segera kerja sama dan pemberian dana hibah kepada PT SMI (juga PT GeoDipa Energi), termasuk menghentikan seluruh proses di lapangan dalam memuluskan rencana penambangan panas bumi di Wae Sano.
Massa pun mendesak Kantor Staf Presiden (KSP) agar berhenti terlibat dalam urusan panas bumi di Wae Sano.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.