Menjelang sampai Dago, ada dua pria naik memberhentikan angkot. Mereka minta duduk di depan samping sopir, tapi karena ada saya, mereka duduk di belakang bersama empat perempuan tersebut.
Di angkot mereka bercakap-cakap Bahasa Batak dengan suara keras.
Empat perempuan yang semula berbincang-bincang dengan Bahasa Sunda, langsung pelan-pelan berbicara, dan tidak menggunakan Bahasa Sunda lagi, tetapi Bahasa Indonesia.
Sementara dua pria penumpang nerocos bercakap-cakap keras dalam Bahasa Batak.
Saya melihat orang-orang Sunda itu memilih Bahasa Indonesia ketika ada orang lain yang bukan orang Sunda mendekat.
Saya menduga orang Sunda menjaga perasaan orang lain yang tidak mengerti Bahasa Sunda.
Hal serupa juga terjadi di tempat lain. Ketika ada sekelompok orang sedang ngobrol berbahasa Sunda, mereka segera beralih menggunakan bahasa Indonesia ketika datang kawannya yang tidak mengerti Bahasa Sunda.
Sikap orang Sunda yang toleran dan suka mengalah dalam banyak hal menunjukkan penghormatan terhadap orang lain sangat tinggi.
Cerita suku Badui pewaris peradaban Sunda lama asli, yang menyuguhkan ayam hidup pada tamunya bisa dikaitkan dengan tradisi penghormatan agung pada tamu.
Kedengarannya cerita dari pegunungan Kendeng di Banten ini cerita konyol, tetapi itu mengandung penghargaan tinggi tiada tara terhadap orang lain.
Orang Badui merasa kalau ayam itu disembelih sendiri, khawatir tamunya tidak mau makan karena doa memotong ayam berbeda.
Sementara orang Badui mau mengikuti doa tamunya tidak mengerti karena berbeda keyakinan.
Silakan potong sendiri saja lah ayamnya, supaya nyaman dimakan. Kira-kira begitulah bahasanya.
Nah kaitannya dengan kasus belakangan ini yang mencuat, ada orang yang menggunakan bahasa Sunda dalam rapat, dibicarakan dan dinilai tindak pantas menduduki jabatannya.
Itu terlalu kasar untuk orang Sunda. Orang Sunda itu manusia yang tahu diri.