Kepada Sembada, Dora lantas menyampaikan pesan dari utusan Aji Saka. Dora juga mengajak Sembada untuk mengantarkan pusaka milik Aji Saka ke Medang Kamulan.
Namun, Sembada justru tidak percaya. Sembada malah mencurigai Dora, dan mengira apa yang disampaikan sahabatnya itu sebagai siasat untuk mencuri dan memiliki pusaka milik Aji Saka.
Keduanya kemudian terlibat perselisihan yang berujung pada pertempuran hebat. Dalam pertempuran itu, tidak ada yang menang dan kalah. Keduanya tewas bersamaan.
Sementara itu Aji Saka resah karena pusaka dan dua abdinya tak kunjung datang. Dia kemudian memutuskan untuk berangkat ke Bumi Majeti.
Saat tiba di Bumi Majeti, Aji Saka terkejut karena menemukan mayat dua abdinya yaitu Dora dan Sembada.
Aji Saka lantas menyadari, kedua abdinya itu terlibat perselisihan akibat pesan yang disampaikan dulu, yaitu agar menjaga pusaka dan tidak menyerahkan kepada siapapun selain dirinya.
Untuk mengenang kesetiaan Dora dan Sembada, Aji Saka lantas menggubah puisi yang jika dibaca menjadi Hanacaraka. Berikut adalah puisi tersebut:
Baca juga: Standar Fon Aksara Jawa dan Sunda Segera Didaftarkan ke BSN
Listyo Yuwanto dalam Refleksi Hakikat Manusia Berdasarkan Aksara Jawa (2012) membeberkan makna filosofis dalam Aksara Jawa Hanacaraka ini.
Menurutnya, Aksara Jawa dari Ha sampai Nga memiliki makna berupa gambaran dan hakikat hidup manusia di dunia sangat mendalam.
Hanacaraka dimaknai dengan “anane utusaning pangeran” atau adanya utusan Tuhan, yaitu manusia. Dengan kebesaran Tuhan, manusia diciptakan untuk menjaga kelestarian hidup atau “memayu hayuning bawono”.
Kelestarian hidup ini bisa terjaga manakala dua bentuk kelestariannya juga dijaga, yaitu kelestarian hidup manusia atau “hamemayu hayuning jagad kang piniji”, dan kelestarian alam atau “hamemayu hayuning jagad raya".
Datasawala dimaknai sebagai “ora bisa suwala, kabeh wus ginaris ing kodrat” atau tidak bisa diingkari bahwa semuanya sudah menjadi kodrat atau ketetapan Tuhan.
Dalam hal ini, manusia sebagai utusan Tuhan hanya bisa menjalankan apapun yang sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Dari sini, masyarakat Jawa memiliki prinsip hidup yaitu “narima ing pandum” yaitu menerima apapun pemberian Tuhan.
Baca juga: Selangkah Menuju Standar Nasional Aksara Nusantara
Padhajayanya dimaknai dengan “kanthi tetimbangan kang pada sak jodo anane” atau Tuhan menciptakan sesuatu sesuai dengan pertimbangan dan berpasangan.
Implementasi hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari, dengan adanya siang-malam, pria-wanita, hidup-mati, sedih-bahagia, dan seterusnya.
Magabathanga dimaknai dengan “manungsa kinodrat dosa, lali, luput lan mati” atau manusia ditakdirkan memiliki dosa, lupa, kesalahan, dan kematian.
Hal ini dapat dimaknai bahwa manusia tidak akan pernah bisa lepas dari kekurangan dan kelemahan. Dari sini muncul filosofi hidup masyarakat Jawa yang dikenal dengan “eling lan waspada”, yaitu hidup harus selalu ingat dan waspada atas kekurangan.
Sumber:
https://www.kompas.com/stori/read/2021/10/26/090000079/sejarah-aksara-jawa?page=all
https://bp3d.boyolali.go.id/index.php/artikel/item/144-legenda-ajisaka-dan-asal-mula-aksara-jawa
https://ubaya.ac.id/ubaya/articles_detail/54/Refleksi-Hakikat-Manusia-Berdasarkan-Aksara-Jawa.html