Salin Artikel

Aksara Jawa: Sejarah, Legenda Aji Saka, dan Makna Filosofinya

Aksara Jawa biasa juga dikenal dengan nama Hanacaraka, Carakan, atau Dentawyanjana.

Tak hanya bahasa Jawa, aksara ini juga digunakan untuk menulis bahasa lain, seperti Sunda, Madura, hingga Sansekerta dan Kawi.

Aksara Jawa terdiri dari 20 aksara, yaitu Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Pa, Dha, Ja, Ya, Nya, Ma, Ga, Ba, Tha, Nga.

Sejarah Aksara Jawa dan Legenda Aji Saka

Aksara Jawa masuk ke dalam turunan Aksara Brahmi, yaitu aksara India tertua yang terdapat dalam naskah-naskah India kuno.

Aksara Brahmi diperkirakan berkembang di wilayah Asia Selatan dan Tenggara pada abad ke-6 hingga 8 Masehi. Di Asia Tenggara, aksara ini kemudian berkembang menjadi Aksara Pallawa.

Aksara Pallawa ini berkembang pula di wilayah Nusantara pada abad ke-8 hingga 15 Masehi. Dari Pallawa inilah muncul aksara kuno lain, termasuk Aksara Jawa.

Kemunculan Aksara Jawa sering dikaitkan dengan kisah legenda dua orang abdi Aji Saka yang konon memerintah di Medang Kamulan.

Dua abdi Aji Saka ini bernama Dora dan Sembada. Keduanya terkenal sangat setia kepada junjungan mereka, yaitu Aji Saka.

Aji Saka yang berasal dari Bumi Majeti hendak menuju ke Medang Kamulan untuk melawan kelaliman penguasa daerah itu yang bernama Prabu Dewata Cengkar.

Sebelum berangkat, Aji Saka memberi amanat kepada Dora dan Sembada untuk menjaga senjata pusaka miliknya. Aji Saka berpesan kepada keduanya agar tidak menyerahkan pusaka itu kepada siapapun selain dirinya.

Saat di Medang Kamulan, Aji Saka terlibat pertempuran sengit melawan Prabu Dewata Cengkar. Namun, Aji Saka berhasil mengalahkan Prabu Dewata Cengkar, dengan mengubahnya menjadi Bajul Putih atau buaya putih.

Setelah itu, Aji Saka pun bertahta sebagai penguasa Medang Kamulan. Aji Saka lantas mengirim utusan ke Bumi Majeti, untuk mengabarkan kepada Dora dan Sembada bahwa dirinya berhasil menang melawan Prabu Dewata Cengkar.

Selain memberi kabar tersebut, Aji Saka juga meminta pusaka yang dititipannya agar diantar ke Medang Kamulan.

Di perjalanan menuju Bumi Majeti, utusan Aji Saka bertemu dengan Dora. Utusan itu menyampaikan semua perintah Aji Saka kepadanya. Dora langsung percaya, dan menemui Sembada.

Kepada Sembada, Dora lantas menyampaikan pesan dari utusan Aji Saka. Dora juga mengajak Sembada untuk mengantarkan pusaka milik Aji Saka ke Medang Kamulan.

Namun, Sembada justru tidak percaya. Sembada malah mencurigai Dora, dan mengira apa yang disampaikan sahabatnya itu sebagai siasat untuk mencuri dan memiliki pusaka milik Aji Saka.

Keduanya kemudian terlibat perselisihan yang berujung pada pertempuran hebat. Dalam pertempuran itu, tidak ada yang menang dan kalah. Keduanya tewas bersamaan.

Sementara itu Aji Saka resah karena pusaka dan dua abdinya tak kunjung datang. Dia kemudian memutuskan untuk berangkat ke Bumi Majeti.

Saat tiba di Bumi Majeti, Aji Saka terkejut karena menemukan mayat dua abdinya yaitu Dora dan Sembada.

Aji Saka lantas menyadari, kedua abdinya itu terlibat perselisihan akibat pesan yang disampaikan dulu, yaitu agar menjaga pusaka dan tidak menyerahkan kepada siapapun selain dirinya.

Untuk mengenang kesetiaan Dora dan Sembada, Aji Saka lantas menggubah puisi yang jika dibaca menjadi Hanacaraka. Berikut adalah puisi tersebut:

Makna Filosofi Aksara Jawa

Listyo Yuwanto dalam Refleksi Hakikat Manusia Berdasarkan Aksara Jawa (2012) membeberkan makna filosofis dalam Aksara Jawa Hanacaraka ini.

Menurutnya, Aksara Jawa dari Ha sampai Nga memiliki makna berupa gambaran dan hakikat hidup manusia di dunia sangat mendalam.

Hanacaraka dimaknai dengan “anane utusaning pangeran” atau adanya utusan Tuhan, yaitu manusia. Dengan kebesaran Tuhan, manusia diciptakan untuk menjaga kelestarian hidup atau “memayu hayuning bawono”.

Kelestarian hidup ini bisa terjaga manakala dua bentuk kelestariannya juga dijaga, yaitu kelestarian hidup manusia atau “hamemayu hayuning jagad kang piniji”, dan kelestarian alam atau “hamemayu hayuning jagad raya".

Datasawala dimaknai sebagai “ora bisa suwala, kabeh wus ginaris ing kodrat” atau tidak bisa diingkari bahwa semuanya sudah menjadi kodrat atau ketetapan Tuhan.

Dalam hal ini, manusia sebagai utusan Tuhan hanya bisa menjalankan apapun yang sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Dari sini, masyarakat Jawa memiliki prinsip hidup yaitu “narima ing pandum” yaitu menerima apapun pemberian Tuhan.

Padhajayanya dimaknai dengan “kanthi tetimbangan kang pada sak jodo anane” atau Tuhan menciptakan sesuatu sesuai dengan pertimbangan dan berpasangan.

Implementasi hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari, dengan adanya siang-malam, pria-wanita, hidup-mati, sedih-bahagia, dan seterusnya.

Magabathanga dimaknai dengan “manungsa kinodrat dosa, lali, luput lan mati” atau manusia ditakdirkan memiliki dosa, lupa, kesalahan, dan kematian.

Hal ini dapat dimaknai bahwa manusia tidak akan pernah bisa lepas dari kekurangan dan kelemahan. Dari sini muncul filosofi hidup masyarakat Jawa yang dikenal dengan “eling lan waspada”, yaitu hidup harus selalu ingat dan waspada atas kekurangan.

Sumber:
https://www.kompas.com/stori/read/2021/10/26/090000079/sejarah-aksara-jawa?page=all
https://bp3d.boyolali.go.id/index.php/artikel/item/144-legenda-ajisaka-dan-asal-mula-aksara-jawa
https://ubaya.ac.id/ubaya/articles_detail/54/Refleksi-Hakikat-Manusia-Berdasarkan-Aksara-Jawa.html

https://regional.kompas.com/read/2022/01/06/111911978/aksara-jawa-sejarah-legenda-aji-saka-dan-makna-filosofinya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke