Total pasokan daya untuk masyarakat Pulau Tinggi tercatat sebesar 20 kVa atau sekitar 16 kilowatt. Sementara beban puncak hanya mencapai 8,5 kVa. Artinya ada surplus energi yang bisa dimanfaatkan masyarakat.
Supervisor PLTD Toboali, Bangka Selatan, Romansyah Martha Dinata mengatakan, pasokan listrik 24 jam di Pulau Tinggi terealisasi dengan adanya pembangkit dengan konsep energi baru dan terbarukan (EBT).
Pembangkit itu menggunakan bahan bakar sampah organik dan cangkang sawit.
"Ini namanya pembangkit listrik tenaga biogas atau PLTBG. Cangkang sawit dibakar di dalam tabung reaktor kemudian menghasilkan gas metana yang mengalir ke komponen mesin sehingga menyala," ujar Rosmansyah.
Tak kurang dari 4,5 ton cangkang sawit dikirim setiap bulannya ke Pulau Tinggi.
Penggunaan cangkang sawit lebih diprioritaskan karena pasokannya relatif lebih terjaga.
Sementara pengolahan sampah organik, membutuhkan proses produksi yang cukup panjang.
Yakni dimulai dari pemilahan sampah rumah tangga atau sampah pasar, selanjutnya dijemur hingga kering.
Sampah organik yang telah kering kemudian digiling dan dicetak berbentuk pelet dengan ukuran 1 sentimeter.
Pelet yang sudah jadi harus dikeringkan lagi sebelum digunakan ke dalam reaktor.
"Jadi sehari-hari menggunakan cangkang sawit. Kalau bahan dari pelet sampah organik masuk, bisa juga digunakan," jelas Rosmansyah.
Limbah dari PLTBG kata Rosmansyah, dimanfaatkan lagi sebagai pupuk tanaman.
Bahkan masyarakat setempat mulai terbiasa menjadikan sisa pembakaran tersebut sebagai media tanam untuk tanaman kembang di rumah mereka.
Romansyah menuturkan, bahan sisa dari PLTBG telah diuji secara nasional dan dinyatakan sebagai bahan yang tidak beracun atau berbahaya.
Sehingga bisa dijadikan sebagai pupuk, media tanam bahkan bisa menjadi bahan pembuatan paving blok.
Limbah padat atau Fly Ash Bottom Ash (FABA) dari cangkang sawit dan sampah organik, termasuk juga hasil pembakaran batu bara dikategorikan sebagai Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai Peraturan Pemerintah (PP) 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Beberapa Laboratorium telah melakukan uji kimia dan biologi atas FABA, antara lain laboratorium Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Kementerian ESDM bersama Laboratorium Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) Universitas Padjadjaran.
Baca juga: Cerita Ridwan Kamil Jajal Motor Listrik Hasil Konversi: Ini Dulunya Motor Bebek...
"Karena tidak berbahaya jadi bisa dimanfaatkan lagi untuk mendorong perekonomian masyarakat. Seperti di Pulau Tinggi ada banyak jenis tanaman keladi hias yang bisa dibudidayakan untuk dijual," ungkap Rosmansyah.
Adapun PLTBG yang saat ini beroperasi di Pulau Tinggi dikelola langsung oleh PLN.
Pembangkit lainnya dengan konsep yang sama juga ada di Tempilang, Bangka Barat dan Belitung.
Hanya saja pembangkit itu dikelola bekerja sama dengan pihak swasta dari perkebunan kelapa sawit dengan konsep Independent Power Producer (IPP).
"Bagi PLN sendiri pengelolaan PLTBG tentu saja membutuhkan biaya yang cukup besar. Saat ini Biaya Pokok Produksi (BPP) per kWh sekitar Rp 2.200 sementara jual subsidi Rp 1.750. Tapi sesuai amanah pemerintah, bukan dilihat biayanya, melainkan dampak di sektor hilirnya. Seperti masyarakat yang bisa membuat kapal dengan harga produksi lebih murah," pungkas Rosmansyah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.