Banjir besar akibat luapan Sungai Melawi dan Sungai Kapuas yang menerjang 175 desa, 16 kelurahan, dan 12 kecamatan di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, hingga sebulan terakhir ini belum memperlihatkan tanda-tanda surut.
Sebanyak 26.107 jiwa masih tinggal di pos-pos pengungsian. Dari kesaksian banyak warga, banjir di Sintang kali ini menjadi yang terbesar sejak 40 tahun terakhir.
Sejak 25 Oktober 2021 Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sintang menghentikan kegiatan pembelajaran tatap muka terbatas di sekolah yang terdampak banjir.
Padahal, sebelum banjir, kegembiraan siswa-siswi sekolah tengah membuncah usai lama belajar di rumah saja selama pandemi berlangsung.
Begitu banjir datang pembelajaran kembali dilakukan secara daring hingga kondisi banjir surut dan akses transportasi lancar kembali.
Di beberapa daerah di Sintang seperti di jalan provinsi menuju perbatasan Sintang–Malaysia, ketinggian air bahkan mencapai 2 meter (Pontianak.tribunnews.com, 18 November 2021).
Kendala yang ditemui anak-anak korban banjir selama di pengungsian adalah masih putusnya jaringan listrik sehingga akses internet juga berhenti total.
Para pelajar mengalami kesulitan untuk belajar daring apalagi di daerah pekuburan yang dijadikan lokasi penampungan korban banjir.
Warga Kelurahan Ulak Jaya, Kecamatan Sintang, misalnya, bergotong royong membangun dapur umum hingga menyediakan pembangkit listrik tenaga diesel sebagai pengganti jaringan listrik PLN yang sudah berhenti.
Rumah-rumah yang tidak terendam banjir dijadikan tempat pengungsian. Pekuburan dijadikan dapur umum dan tempat belajar anak-anak pengungsi.
Sudah sekitar satu bulan mereka belum bisa kembali ke rumah. Kejenuhan di tempat pengungsian menjadi persoalan psikologis yang kerap dialami anak-anak sekolah.
Ketiadaan akses internet menjadikan anak-anak “gabut” atau cepat bosan karena tidak dapat mengikuti pelajaran sekolah dan bermain.
Saya hanya membatin, andai mobil pusat layanan internet kecamatan (MPLIK) yang pernah diluncurkan di era pemerintahan SBY dengan Menteri Komunikasi dan Informasi-nya Tifatul Sembiring masih berjalan, tentu kondisi “kegabutan” anak-anak usia sekolah di tempat-tempat pengungsian bisa teratasi.
Sayangnya, rongsokan MPLIK di berbagai daerah menjadi prasasti kegagalan sebuah rezim tanpa ada yang bertanggungjawab.
MPLIK yang diluncurkan pada 2010 dan mulai beroperasi 2011 ditujukan untuk membuka akses layanan internet dan telepon pada masyarakat di daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan. Penyelenggaraannya bertumpu pada dana universal service obligation (USO).
Sejak 31 Desember 2014, ratusan MPLK teronggok menjadi barang rongsok di berbagai daerah karena persoalan utang antara kementerian komunikasi dengan pelaksana proyek dan vendor penyediaan mobil.
Hingga sekarang, penuntasan kasus sengketa tersebut di Badan Arbitrase Nasional masih belum terdengar kabarnya lagi (Kompas.com, 23/05/2016).