Di tempat tersebut Samiyah menjual minuman seperti kopi, mie instan, hingga rokok eceran.
Untuk melayani pembeli, Samiyah menggunakan sebuah kompor minyak tanah.
Sehari-hari, Samiyah biasa mendapatkan uang Rp 50.000 dari berjualan.
Uang itu biasanya digunakan kembali untuk membeli minyak tanah dan barang dagangan.
Kadang, Samiyah juga menerima barteran nasi bungkus yang ditukar dengan kopi.
"Itu ada nasi yang titip langsung tak bayar sama kopi. Nanti nasi itu bisa saya makan sendiri," ucap dia.
Baca juga: Kembangkan Potensi Surabaya, Eri Cahyadi Gandeng 6 Perguruan Tinggi
Samiyah telah merasakan pahit getir berjualan kopi di tempat tersebut.
Nenek itu pernah terjaring penertiban Satpol PP Pemkot Surabaya karena dinilai melanggar aturan.
Sejak saat itu, berkas kependudukan (KTP) Samiyah disita oleh petugas.
"Saya lupa tahun berapa yang diobrak itu, tapi dulu KTP-ku dibawa Satpol PP. Sengaja enggak aku urus karena tak ada biaya," kata dia.
Baca juga: Antisipasi Covid-19 Varian Delta Plus, Ini yang Dilakukan Pemkot Surabaya bagi Para Nakes
Samiyah saat ini tak berharap banyak dari kehidupannya.
Dia sudah merasa bersyukur lantaran dikaruniai kesehatan dan bisa berjualan lagi.
Hanya saja, Samiyah masih kerap merasa cemas dan khawatir jika kembali ditertibkan.
Perasaan was-was itu muncul seperti ketika Samiyah disambangi oleh petugas Kecamatan Genteng. Petugas menanyakan soal umur dan berkas kependudukannya.
"Mohon ya, Nak, jangan bawa saya ke Keputih (lokasi Liponsos), kemarin Ibu Camat ke sini juga," Samiyah menirukan kata-katanya saat itu.
Baca juga: 9 Lokasi Parkir bagi Pengunjung Jalan Tunjungan Surabaya, Mampu Tampung 3.695 Kendaraan