“Anak-anak yatim atau piatu dan duafa masuk di sini gratis. Pondok pesantrennya gratis dan sekolah MTS-nya juga gratis,” ungkap Surono.
Baca juga: Kisah Ipda Basilio, Tetap Tenang meski Ditendang dan Dimaki Demonstran, Kini Dapat Penghargaan
Tak hanya pendidikan agama, anak-anak yang ditampung di pesantrennya pun disekolahkan di sekolah umum yang tak jauh dari lingkungan pesantren. Khusus untuk lulusan SD, Surono menyiapkan pendidikan MTS (setingkat SMP) di lingkungan pesantrennya.
Bagi anak-anak yang masuk di pesantrennya, Surono menyiapkan kamar yang sudah dilengkapi dengan tempat tidur dan lemari. Selain itu, anak-anak pun sudah dijamin makan dan minumnya setiap hari.
Surono menyebutkan, awal berdiri, ada 54 anak yatim yang bergabung di pondok pesantrennya. Dari jumlah itu, ada yang tinggal di pondok pesantren.
Biasanya santri yang tinggal di pondok lantaran berasal dari luar daerah. Ia mencontohkan ada santri anak yatim piatu dari Cianjur, Pekalongan, hingga Jawa Timur.
“Kami saat ini sudah menyiapkan 100 tempat tidur untuk santri yang tinggal di sini. Namun, baru terisi 12 putra dan lima putri,” kata Surono.
Menurut Surono, anak-anak yang masuk di pesantrennya juga tetap diwajibkan mengikuti pendidikan formal seperti SD atau MI. Usai mengikuti pendidikan formal, anak-anak mendapatkan bekal pendidikan agama sepulang sekolah.
“Sekolah tetap mengikuti dan di pesantren kami tambahkan pendidikan agama agar mereka menjadi generasi muda yang beriman dan bertakwa. Bagi saya, anak-anak bisa menjadi potensi yang baik dan buruk maka harus diolah agar mereka menjadi potensi yang bermanfaat bagi bangsa dan agama,” tutur Surono.
Untuk pendidikan agama, Surono menyebut setiap harinya anak-anak dididik mengikuti shalat tahajud lalu shalat subuh berjemaah. Selain itu, diberikan pelajaran hafalan Al Quran dan dilatih berkomunikasi dengan bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Tiga santri Surono, yaitu Brilian Pamungkas (12), Sailanang Rizki Lindungi (10), dan Zahra Rahmawati (9), mengaku senang dan betah tinggal di Ponpes Abdul Rahman Bin Auf. Tak hanya mendapatkan fasilitas gratis, anak-anak juga mendapatkan ustaz yang ramah dan sayang anak-anak.
“Saya betah di sini. Ustaznya baik dan ramah-ramah,” ujar Brilian.
Senada dengan Brilian, Zahra yang berasal dari Jatim mengaku senang bisa bergabung di ponpes milik AKP Surono. Pasalnya, Zahra (9) kini banyak mendapatkan teman setelah kedua orangtuanya meninggal dunia dua tahun yang lalu.
“Senang di sini banyak teman dan bisa mengaji,” tutur Zahra.
Untuk membiayai operasional pesantren, Surono mengandalkan gaji dan bantuan donasi dari keluarga dan kerabatnya. Khusus keluarga dan kerabatnya, ia membuat grup WhatsApp sehingga setiap bulan dapat menyisihkan pendapatan untuk bersedekah bagi pesantren.
“Saya membuat grup WA di keluarga, jadi setiap bulan yang mampu bisa bersedekah,” kata Surono.
Surono juga membuat grup khusus bagi relasinya dengan grup barokah pesantren. Relasi yang masuk dalam grup itu biasanya mengirimkan langsung donasi uang dengan mentransfer ke rekening.
“Ada yang mengirim Rp 50.000, Rp 100.000, hingga Rp 200.000,” jelas Surono.
Berbekal penghasilan pribadi, donasi keluarga dan warga, pondok pesantren yang diasuh Surono terus berkembang.
Anak-anak yatim piatu dan duafa yang mondok di pesantrennya pun berasal dari luar Wonogiri, seperti Pekalongan dan Madura, Jawa Timur.