Sebelumnya ada Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang tersangkut kasus pengadaan alat kesahatan. Kasus ini melibatkan adik Atut, Chaeri Wardana, menjadi otak pengendali permainan rasuah alat kesahatan (Desember 2013). Chaeri adalah suami Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany yang kini sudah purna jabatan.
Di Klaten, Jawa Tengah, Desember 2016, Bupati Sri Hartini menjadi terpidana kasus suap promosi jabatan. Sementara suaminya, Haryanto Wibowo, yang menjabat bupati sebelumnya tersandung kasus pengadaan proyek buku paket dan perjalanan ke luar negeri. Kasus Haryanto dihentikan karena tersangka meninggal dunia.
Walikota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi juga menjadi terpidana kasus perizinan pembangunan di September 2017. Sementara, ayahnya yang menjadi Walikota Cilegon sebelumnya, Aat Syafaat, menjadi terpidana kasus korupsi pembangunan dermaga di tahun 2013.
Dari Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Bupati Rita Widyasari terbelit perizinan proyek pada September 2017. Sementara ayahnya Syaukani Hasan Rais, Bupati Kutai Kartanegara sebelumnya juga terlibat dengan rasuah.
Di Kota Cimahi, Jawa Barat, Walikota M Itoch Tochija tersangkut kasus suap proyek pembangunan pasar di Desember 2016. Sedangkan istrinya yang menjadi walikota berikutnya juga tersangkut kasus yang sama.
Ayah dan anak yang kompak tertangkap juga terjadi di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Sang bapak, Asrun, yang menjabat walikota periode 2007–2017 bersama sang putra, Adriatma Dwi Putra, walikota periode berikutnya, bersatupadu menggangsir penerimaan suap sejumlah proyek di Maret 2018.
Di tahun ini, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari yang menjadi istri muda bupati sebelumnya, Hasan Aminuddin, berkolaborasi menjual jabatan kepala desa. Usai menjadi Bupati Probolinggo dua periode, Hasan menjadi anggota DPR-RI (Kompas.id,16 Oktober 2021).
Dari sisi modus, sebenarnya tidak ada yang baru dari kejahatan yang dilakukan para keluarga ini. Para pelaku mempelajari modusnya dari pelaku sebelumya yang notabene adalah keluarga mereka sendiri.
Mau tidak mau kita harus mengulik aturan main dalam pemilihan kepala daerah yang melibatkan keluarga.
Kasus-kasus rasuah yang melibatkan keluarga merupakan bagian dari dinasti politik. Suka tidak suka, dinasti politik merupakan pintu masuk terjadinya korupsi. Dinasti politik sekaligus merupakan dinasti koruptor.
Sudah menjadi ketentuan dalam politik “perda” alias pertalian darah, kepala daerah pengganti akan cenderung menutupi kekurangan pendahulunya serta meneruskan kebiasaan “basah” yang dinikmati pendahulunya.
Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan bahwa hak dipilih merupakan hak setiap warga negara. Dengan demikian keikutsertaan kerabat atau keluarga dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak dapat dibatasi.
Hanya saja, melihat kasus-kasus yang marak terjadi, harus mulai dipikirkan larangan keikutsertaan dinasti politik yang pernah tersangkut kasus korupsi untuk ikut berlaga dalam Pilkada.
Keluarga Ratu Atut di Banten, Keluarga Alex Noerdin di Sumatera Selatan, Keluarga Hasan Aminudin di Probolinggo, Keluarga Rita Widyasari di Kutai Kartanegara, Keluarga Itoch Tochija di Cimahi, Keluarga Asrun di Kendari, Keluarga Aat Syafaat di Cilegon, serta Keluarga Sri Hartini di Klaten harusnya “didiskualifikasi” dan tidak diperbolehkan ikut Pilkada sampai kapan pun.
Harus diakui, efek jera dalam penanganan kasus korupsi yang berlanjut hingga vonis pengadilan ternyata tidak otomatis membuat para garong kapok. Asas ultimum remedium, hendaklah hukum pidana dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum, ternyata gagal.