Dengan kekuatan kapital yang masih dimiliki, para kepala daerah koruptor yang telah selesai menjalani masa hukumannya bisa saja kembali maju pada Pilkada berikutnya. Tidak ada aturan yang tegas soal ini.
Rakyat sendiri pun kerap mengalami amnesia politik. Tebaran sembako dan politik uang yang masif bisa membuat masyarakat lupa dengan jejak rekam masa lalu para calon kepala daerah.
Muara dari kasus dinasti politik terjadi karena partai politik tidak selektif dalam menjaring kader untuk calon kepala daerah. Penandatanganan pakta integritas yang dilakukan partai politik hanya bersifat seremonial belaka.
Partai politik adalah alat perjuangan masyarakat dalam membangun daerahnya sehinga calon kepala daerah yang diusung harusnya memenuhi kriteria 3B: bibit, bebet dan bobot. Kriteria ini tidak saja sesuai diterapkan untuk menyeleksi calon menantu tetapi juga layak diterapkan di partai politik.
Bibit artinya keturunan. Mereka yang berasal dari dinasti politik harusnya tidak diambil oleh partai politik.
Bebet maknanya tingkat ekonomi. Kerap partai politik silau dengan setoran mahar sehingga kriteria ideal calon kepala daerah terlupakan.
Sementara bobot artinya kualitas calon kepala daerah. Ini menyangkut kepribadian, pendidikan, atau pencapaian lainnya.
Suatu ketika Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri begitu berang karena disodorkan nama istri seorang kepala daerah yang akan dimajukan sebagai calon konstestan Pilkada.
Padahal sang suami pernah dua periode menjabat wakil kepala daerah dan dua periode sebagai kepala daerah.
Kerakusan politik yang tidak berbatas menjadi alasan Megawati mencoret calon itu. Megawati sadar calon yang dimajukan juga tidak memiliki pendanaan politik yang kuat. PDIP akhirnya “melepas” daerah itu meskipun daerah itu sudah lama dikuasai PDIP.
Harus diakui, biaya politik dalam konstestasi Pilkada memang sangat tinggi. Untuk maju sebagai bupati atau walikota, minimal harus tersedia dana Rp 30 miliar. Untuk level gubernur, tentu perlu ratusan miliar rupiah.
Perputaran uang saat pilkada begitu tinggi. Tidak saja untuk pembelian merchandise kampanye, tetapi juga untuk biaya saksi yang mengawal suara saat penghitungan suara dilakukan setelah pencoblosan.
Nah, biaya tinggi selama kampanye ini seolah adalah utang yang harus dilunasi ketika si calon menjabat kelak.
Ada seorang sahabat yang maju Pilkada di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Ia begitu jor-joran saat awal hingga pertangahan kampanye.
Sayangnya, dia lalai menjaga tensi kemenangan di tahap akhir. Saat calon lain menebar Rp 50 ribu ke semua pemilih, sahabat saya ini hanya sanggup menyawer Rp 20 ribu. Itu pun hanya di beberapa titik kecamatan.
Kemenangan di survei ternyata berbanding terbalik dengan masifnya serangan uang coblosan. Di masa pandemi, pemilih begitu “mata duitan”. Ini yang dimanfaatkan oleh kekuatan dinasti politik yang sudah paham seluk beluk permainannya.
Di beberapa daerah, justru sifat mata duitan pemilih tidak linear dengan kemenangan calon yang rajin menebar dana. Mereka berprinsip, tolak amplopnya tapi ambil isinya. Soal pilihan tergantung nurani.
Tidak ada salahnya jika para keluarga koruptor ini menyimak pesan yang disampaikan oleh pengojek online kepada putranya di suatu siang di sebuah kontarakan padat di Kawasan Galur, Pasar Senen, Jakarta.
“Ada dua jenis orang di dunia ini. Pemberi dan pengambil. Seorang pengambil kelihatannya bisa makan enak, hidup nyaman dan bergeliman harta. Tetapi seorang pemberi sudah pasti akan tidur lebih nyenyak”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.