Temuan Pansus Aset Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kampar, ada kepala dinas yang memegang lima mobil milik pemerintah kabupaten (Pemkab) tanpa ada kehendak untuk mengembalikannya.
Dari temuan awal, Pemerintah Kabupaten Kampar memiliki 474 kendaraan roda empat dan dua. Setelah disigi lebih lanjut ke pihak sekretariat daerah, jumlahnya langsung merosot menjadi 364 untuk mobil saja.
Setelah dipaksa soal keakuratan data, pihak sekretariat mengeluarkan data terbaru yakni hanya 56 unit mobil dinas. Saat DPRD meminta untuk menghadirkan semua kendaraan dinas milik pemerintah kabupaten di lapangan, hanya 33 mobil yang nongol. (Kompas.com, 1 September 2021).
Baca juga: Bupati dan Kadis di Kampar Kuasai sampai 5 Mobil Dinas, Ada yang Dipakai Keluarga
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7 Tahun 2006, seorang kepala daerah baik bupati atau wali kota hanya diperbolehkan menguasai dua unit mobil dinas.
Jika untuk mobil dinas saja mereka tidak jujur maka komitmen mereka untuk menjadi aparatur negara yang bersih dan berintegritas juga patut dipertanyakan.
Tidak hanya kendaraan dinas, kepala daerah dan pegawai Pemda pun kerap bersinggungan dengan pemanfaatan fasilitas-fasilitas lain milik Pemda. Penempatan kendaraan dinas milik Pemda di Jakarta, misalnya, ditempatkan di kantor-kantor perwakilan Pemda yang ada di Jakarta
Untuk mempermudah urusan birokrasi dengan pemerintah pusat, hampir sebagian besar Pemda memiliki kantor perwakilan atau dikenal dengan istilah Banhub untuk mengakronimkan badan penghubung di Jakarta.
Tidak hanya provinsi, kabupaten atau kota juga membuka kantor perwakilan di Ibu Kota. Padahal untuk efisiensi dan efektifitas, kabupaten dan kota seharusnya menginduk atau bergabung saja dengan kantor perwakilan milik provinsi.
Tujuan awal didirikan Banhub adalah sebagai tempat penginapan bagi para pegawai Pemda yang sedang berdinas ke Ibu Kota.
Tetapi pada galibnya, justru kantor perwakilan ini malah dijauhi pegawai Pemdanya sendiri. Mereka lebih suka menginap di hotel.
Perwakilan Pemda ada yang berlokasi di kawasan premium di Jakarta, seperti di Menteng. Ada yang mendekati pusat perbelanjaan di daerah Tanah Abang dan Pasar Senen.
Ada pula yang nyempil di kawasan Tebet. Ada yang berbentuk kantor sekaligus tempat penginapan. Ada juga yang bertipe hotel melati, lengkap dengan mess untuk penginapan. Ada pula yang mirip dengan rumah tinggal.
Sudah menjadi rahasia umum, jika mendapat tugas ke Jakarta para pegawai Pemda memilih tinggal di hotel-hotel di kawasan Mangga Besar, Blok M, Sabang, Pecenongan atau mendekati Senayan.
Sahabat-sahabat saya dari kawasan Indonesia Timur selalu menjadikan Mangga Besar atau Blok M sebagai tempat favorit menginap. Padahal, kantor kementerian yang ditujunya jauh dari tempatnya menginap.
Padahal, untuk alasan praktis, tempat menginap dekat dengan kantor kementerian lebih menguntungkan karena bisa menghindari habisnya waktu di jalan karena kemacetan. Tapi ada alasan tersendiri memilih tempat yang jauh dari kantor kementerian.
Misalnya, hotel yang diinapi bisa “cincai” soal tarif agar ada sisa uang yang bisa di bawa pulang. Alasa lain, mendekati kawasan “dunia malam". Ada juga alasan tidak memilih kantor perwakilan karena faktor kebersihan atau tarifnya tidak bersahabat.
Padahal, dalam APBD biaya perawatan dan pemeliharaan kantor perwakilan masuk dalam mata anggaran rutin. Kendaraan dinas milik perwakilan pun kerap tidak mendapat perawatan reguler dan hanya menjadi fasilitas untuk melayani keluarga dan kerabat kepala daerah jika plesir ke Ibukota untuk shooping.
Saya belum melihat kantor perwakilan Pemda-pemda di Jakarta dijadikan outlet bisnis, etalase untuk mengenalkan produk-produk unggulan daerah agar calon investor tertarik untuk menjalin hubungan dagang dan kemitraan dengan pengusaha lokal di daerah.
Kantor-kantor Pemda di Jakarta tidak dikelola dengan menggunakan prinsip bisnis modern. Misalnya, dijadikan penginapan ala jaringan Oyo, RedDoorz, atau Airy. Ruangan yang luas bisa dipakai untuk co-working space komersial yang instagramable dilengkapi cafe dengan produk kopi lokal mengingat lokasinya yang strategis.
Pemasukan dari unit bisnis tersebut bisa memandirikan pengelolaan kantor perwakilan. Terlebih lagi bisa menjadi unit bisnis yang memberi kontribusi bagi pendapatan daerah.
Jika dari hitung-hitungan ekonomis tidak menguntungkan bahkan malah membebani keuangan daerah maka keberadaan kantor perwakilan daerah sebaiknya memang tidak perlu dipertahankan lagi.