Salin Artikel

Kisah Bupati Kampar dan Lima Tunggangannya

USAI memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 para pengawal Soekarno kebingungan karena Presiden Indonesia pertama ini belum memiliki kendaraan kepresidenan.

Sudiro yang prihatin dengan kondisi miris fasilitas kepresidenan tidak kehilangan akal. Ada mobil limosin merek Buick yang cukup besar, berkapasitas 7 orang, mobil yang paling keren di Jakarta saat itu. Cuma sayangnya, mobil itu masih dimiliki seorang kepala jawatan perkeretaapian berkebangsaan Jepang.

Sudiro mendekati Si Sopir, memintanya kabur karena  Sudiro akan mencuri mobil mewah itu. Alhasil, sopir yang juga bersimpati dengan perjuangan Soekarno rela menyerahkan kunci mobil ke Sudiro dan kabur ke luar daerah agar tidak didamprat oleh empunya kendaraan.

Jadilah mobil curian itu sebagai mobil kepresidenan pertama yang dinaiki Bung Karno. Mobil ini masih tersimpan di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta.

Dari epos perjuangan ini kita bisa melihat keterbatasan dan kesulitan keadaan ketika itu, persoalan kendaraan dinas, bisa diakali dengan segala cara.

Para pejabat menguasai mobil dinas

Di era sekarang mobil dinas yang dimiliki para pejabat seakan tidak ada cukupnya. Tidak cukup satu, malah kalau bisa lima kendaraan dinas dikuasai sekaligus.

Kisah lain, saat pemerintahan awal Joko Widodo terpilih sebagai presiden, ada seorang staf menteri bertutur renyah kepada saya. Pak menteri yang baru dilantik masih menggunakan mobil pribadinya karena menteri yang lama tidak kunjung mengembalikan mobil dinasnya ke bekas kantornya.

Ditunggu sekian waktu, mobil itu tak kunjung dikembalikan. Sementara, kegiatan menteri baru berangsur-angsur semakin padat. Ada lima mobil dinas yang masih dalam penguasaan menteri lama. 

Padahal sudah jelas, lima kendaraan dinas tersebut merupakan inventaris kantor. Bukan hadiah, apalagi kenang-kenangan.

Akhirnya, staf kementerian tersebut menarik mobil-mobil dinas itu ke kantor. Mobil-mobil itu masih dipakai hingga sekarang meski menteri berikutnya sudah menggunakan kendaraan dinas yang baru.

Setelah kisah soal menteri, kita beralih ke cerita soal gubernur. Ini kisah nyata yang saya temui di lapangan.

Suatu saat saya didapuk menjadi ketua tim yang membantu tugas-tugas pejabat yang baru. Pejabat lama juga berperilaku sama dengan bekas menteri yang saya ceritakan di atas.

Ada dua mobil yang dikuasai, toyota alphard dan mitsubishi pajero. Posisi mobil berada di sebuah kota di luar provinsi yang pernah dia pimpin.

Karena tidak ada niatan untuk mengembalikan mobil inventaris tersebut, terpaksa diminta dengan sangat agar mobil yang dibeli dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut dikembalikan.

Di pusat maupun di daerah, para pejabat kita sangat "sayang" dengan kendaraan dinasnya. Mereka tidak mau melepas kendaraan dinas meski jabatan yang diemban sudah ditinggalkan. 

Cerita yang sama terjadi pula di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.  Wakil Bupati Kampar Catur Sugeng Susanto naik posisinya menjadi bupati, setelah pejabat sebelumnya wafat pada 2018. Posisi wakil bupati yang ditinggalkannya masih kosong.

Ia memiliki lima kendaraan dinas, termasuk kendaraan dinas wakil bupati. Posisi mobil dinas itu tidak hanya ada di Kampar, tapi juga di Jakarta dan Yogyakarta. (Kompas.com, 1 September 2021).

Janggal sekali menempatkan mobil dinas di Jakarta karena tidak setiap hari ia berurusan dinas di Jakarta. Kalaupun ada urusan dinas ke Jakarta, bukankah lebih hemat jika menggunakan mobil rental saja. Dengan begitu, tidak ada biaya gaji sopir, biaya perawatan, bahan bakar, dan pajak kendaraan. 

Berikutnya soal Yogyakarta. Penempatan mobil dinas Bupati Kampar di Yogyakarta sungguh di luar nalar sehat. Urusan dinas ke Jakarta masih bisa dipahami karena instansi-instansi pusat ada di Ibu Kota. Soal kendaraan dinas di Jakarta terselesaikan dengan rental. Tapi, bagaimana memahami urusan dinas ke Yogyakarta?

Jadi panutan untuk bawahan

Penguasaan mobil dinas tanpa aturan yang jelas dan tegas serta tidak ada pengawasan membuat kasus Kampar mengingatkan kita tentang penguasaan aset-aset negara. Tidak adanya pengawasan dan rendahnya kesadaran para kepala daerah – baik saat menjabat atau sudah tidak lagi menjabat – membuat mereka leluasa memperlakukan mobil dinas serasa tunggangan pribadi.

Perilaku pimpinan yang seenaknya sendiri pasti akan "digugu" dan "ditiru" bawahannya. Jika bupatinya bisa menguasai lima kendaraan dinas maka para kepala dinas di Kabupaten Kampar juga akan berlomba menjadikan mobil dinas serasa milik “dewek”. Bahkan peruntukkannya pun bisa bergeser, tidak lagi untuk urusan dinas tetapi untuk keperluan keluarga

Temuan Pansus Aset Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kampar, ada kepala dinas yang memegang lima mobil milik pemerintah kabupaten (Pemkab) tanpa ada kehendak untuk mengembalikannya.

Dari temuan awal, Pemerintah Kabupaten Kampar memiliki 474 kendaraan roda empat dan dua. Setelah disigi lebih lanjut ke pihak sekretariat daerah, jumlahnya langsung merosot menjadi 364 untuk mobil saja.

Setelah dipaksa soal keakuratan data, pihak sekretariat mengeluarkan data terbaru yakni hanya 56 unit mobil dinas. Saat DPRD meminta untuk menghadirkan semua kendaraan dinas milik pemerintah kabupaten di lapangan, hanya 33 mobil yang nongol.  (Kompas.com, 1 September 2021).

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7 Tahun 2006, seorang kepala daerah baik bupati atau wali kota hanya diperbolehkan menguasai dua unit mobil dinas.

Jika untuk mobil dinas saja mereka tidak jujur maka komitmen mereka untuk menjadi aparatur negara yang bersih dan berintegritas juga patut dipertanyakan.

Manfaat perwakilan Pemda di Jakarta

Tidak hanya kendaraan dinas, kepala daerah dan pegawai Pemda pun kerap bersinggungan dengan pemanfaatan fasilitas-fasilitas lain milik Pemda. Penempatan kendaraan dinas milik Pemda di Jakarta, misalnya, ditempatkan di kantor-kantor perwakilan Pemda yang ada di Jakarta

Untuk mempermudah urusan birokrasi dengan pemerintah pusat, hampir sebagian besar Pemda memiliki kantor perwakilan atau dikenal dengan istilah Banhub untuk mengakronimkan badan penghubung di Jakarta.

Tidak hanya provinsi, kabupaten atau kota juga membuka kantor perwakilan di Ibu Kota. Padahal untuk efisiensi dan efektifitas, kabupaten dan kota seharusnya menginduk atau bergabung saja dengan kantor perwakilan milik provinsi.

Tujuan awal didirikan Banhub adalah sebagai tempat penginapan bagi para pegawai Pemda yang sedang berdinas ke Ibu Kota.

Tetapi pada galibnya, justru kantor perwakilan ini malah dijauhi pegawai Pemdanya sendiri. Mereka lebih suka menginap di hotel.

Perwakilan Pemda ada yang berlokasi di kawasan premium di Jakarta, seperti di Menteng. Ada yang mendekati pusat perbelanjaan di daerah Tanah Abang dan Pasar Senen.

Ada pula yang nyempil di kawasan Tebet. Ada yang berbentuk kantor sekaligus tempat penginapan. Ada juga yang bertipe hotel melati, lengkap dengan mess untuk penginapan. Ada pula yang mirip dengan rumah tinggal.

Sudah menjadi rahasia umum, jika mendapat tugas ke Jakarta para pegawai Pemda memilih tinggal di hotel-hotel di kawasan Mangga Besar, Blok M, Sabang, Pecenongan atau mendekati Senayan.

Sahabat-sahabat saya dari kawasan Indonesia Timur selalu menjadikan Mangga Besar atau Blok M sebagai tempat favorit menginap. Padahal, kantor kementerian yang ditujunya jauh dari tempatnya menginap.

Padahal, untuk alasan praktis, tempat menginap dekat dengan kantor kementerian lebih menguntungkan karena bisa menghindari habisnya waktu di jalan karena kemacetan. Tapi ada alasan tersendiri memilih tempat yang jauh dari kantor kementerian.

Misalnya, hotel yang diinapi bisa “cincai” soal tarif agar ada sisa uang yang bisa di bawa pulang. Alasa lain, mendekati kawasan “dunia malam". Ada juga alasan tidak memilih kantor perwakilan karena faktor kebersihan atau tarifnya tidak bersahabat.

Padahal, dalam APBD biaya perawatan dan pemeliharaan kantor perwakilan masuk dalam mata anggaran rutin. Kendaraan dinas milik perwakilan pun kerap tidak mendapat perawatan reguler dan hanya menjadi fasilitas untuk melayani keluarga dan kerabat kepala daerah jika plesir ke Ibukota untuk shooping.

Saya belum melihat kantor perwakilan Pemda-pemda di Jakarta dijadikan outlet bisnis, etalase untuk mengenalkan produk-produk unggulan daerah agar calon investor tertarik untuk menjalin hubungan dagang dan kemitraan dengan pengusaha lokal di daerah.

Kantor-kantor Pemda di Jakarta tidak dikelola dengan menggunakan prinsip bisnis modern. Misalnya, dijadikan penginapan ala jaringan Oyo, RedDoorz, atau Airy. Ruangan yang luas bisa dipakai untuk co-working space komersial yang instagramable dilengkapi cafe dengan produk kopi lokal mengingat lokasinya yang strategis.

Pemasukan dari unit bisnis tersebut bisa memandirikan pengelolaan kantor perwakilan. Terlebih lagi bisa menjadi unit bisnis yang memberi kontribusi bagi pendapatan daerah.

Jika dari hitung-hitungan ekonomis tidak menguntungkan bahkan malah membebani keuangan daerah maka keberadaan kantor perwakilan daerah sebaiknya memang tidak perlu dipertahankan lagi.

Pegawai pemda yang ditugaskan ke Jakarta bisa memilih hotel sesuai dengan plafon anggaran yang telah ditentukan. Kepala daerah yang tugas ke Jakarta bisa menggunakan jasa kendaraan sewa. Pola kerja birokrasi di era pandemi telah mengalami disrupsi, dari model konvensional menjadi pola kerja zooming dan nir-pertemuan fisik.

Kasus Covid dan kemiskinan di Kampar

Di saat semua lapisan masyarakat mengalami dampak wabah yang berkepanjangan, maka prinsip penghematan dan penggunaan keuangan daerah yang akuntabelharus digaungkan dan diterapkan sesegera mungkin.

Di Kabupaten Kampar, di tengah obral dan penyian-nyian aset daerah, hingga 1 September 2021 masih ada 105 warga yang terpapar Covid dirawat di rumah sakit;  298 isolasi mandiri; 349 meninggal (Corona.kamparkab.go.id).

Bicara tentang kemiskinan di Kabupaten Kampar, penelitian yang dilakukan Lapeti Sari dari Fakultas Ekonomi Universitas Riau yang dipublikasikan dalam sebuah jurnal di September 2021 membentangkan temuan hasil penelitian yang mencengangkan.

Lumbung kemiskinan di Kabupaten Kampar terkonsentrasi pada wilayah-wilayah pedesaan. Penduduk yang sangat miskin mencapai 73 persen dan penduduk miskin 71,6 persen. Mereka berusaha di bidang pertanian dan perkebunan.

Kemiskinan di Kabupaten Kampar disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia, terbatasnya kepemilikan lahan, dan banyaknya rumah tangga yang tidak memiliki aset.

Belum lagi terbatasnya lapangan kerja alternatif, belum tercukupinya pelayanan publik, degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Lemahnya kelembagaan dan organisasi masyarakat menyebabkan ketidakberdayaan dalam menentukan harga produk yang dihasilkan.

Data Badan Pusat Statistik Provinsi Riau 2019 menyebutkan, dari populasi 854.441 jiwa masih ada 66.810 penduduk Kabupaten Kampar berkategori miskin.

Dengan angka ini, Kampar menduduki urutan kedua setelah Kabupaten Rokan Hulu sebagai kontributor kemiskinan tertinggi di Provinsi Riau. Rokan Hulu sendiri masih memiliki 77.210 warga miskin.

Kabupaten Kampar yang memiliki julukan Bumi Sarimadu beribukota di Bangkinang yang dijuluki sebagai Serambi Mekkah-nya Provinsi Riau.

Semoga pemanfaatan dan penggunaan APBD Kabupaten Kampar bisa memberikan “sarimadu” bagi rakyatnya. Bukan sarimadu untuk “bancakan” para pejabat daerahnya.

Ada baiknya Bupati Kampar dan para pejabatnya yang menguasai aset milik daerah menyimak taklimat Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari yang diucapkan beberapa hari sebelum dicokok operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ;

“Menjadi pemimpin itu tidaklah mudah. Salah satu hal dan tanggung jawab yang sering terlena bahkan terlupa yaitu menjaga moral, akhlak dan etika.

Akhlak dan etika itu hal utama dan harus dijaga untuk menjaga marwah diri dan Pemerintah Daerah.

Akhlak dijaga bukan hanya sebatas pada pimpinan saja, tetapi akhlak harus dijaga untuk merangkul ekternal dan internal yang membantu kinerjanya.

Pemimpin yang dirindukan ialah pemimpin yang tidak terkesan arogan, yakni mau mendengar saran maupun pendapat dari bawahannya. Semua harus diubah perilakunya dari pemimpin saat ini.

Etika dan akhlak pada eksternal pun harus diubah. Karena di lingkup ekternal secara langsung maupun tidak langsung akan men-support kinerjanya.” (Kompas.com, 1 September 2021).

https://regional.kompas.com/read/2021/09/03/12590521/kisah-bupati-kampar-dan-lima-tunggangannya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke