PLTS di Papagarang diresmikan Juli 2019. Kepala Desa Papagarang, Basir, menyebut pembangkit ini juga mengakhiri ketergantungan sekitar seribu keluarga nelayan di pulau ini pada genset diesel.
"Sebelum 2019, warga menunjuk pengurus untuk mendata dan mengumpulkan uang dari orang-orang yang mau berlangganan listrik dari genset. Tapi saat itu listrik hanya menyala dari jam 6 sore sampai 12 malam.
"Sejak listrik mengalir 24 jam, warga yang memiliki usaha pertukangan bisa menggunakan alat otomatis dan tinggal menyambungnya ke colokan.
"Sebagian warga juga mulai memulai usaha penjualan es batu. Banyak yang sekarang memiliki kulkas," ujar Basir.
Baca juga: PLN: Rata-rata Durasi Listrik Padam 161,6 Menit Per Pelanggan pada Maret 2021
Es batu dan alat pendingin merupakan komoditas vital di Papagarang dan Messa. Mayoritas penduduk bekerja sebagai nelayan. Mereka perlu mengawetkan hasil tangkapan sebelum menjualnya ke Labuan Bajo.
Sebelum PLTS beroperasi, para nelayan tidak memiliki alat pendingin. Pilihan mereka adalah membeli es batu di Labuan Bajo atau langsung menjualnya begitu pulang melaut.
Nurdiana saat ini adalah satu dari beberapa penjual es batu di Papagarang. Dia membeli mesin pendingin tahun 2019 dengan mencicil selama lima tahun.
"Dulu aktivitas saya hanya mencari kerang," ujarnya. Upaya menambah pendapatan keluarga itu pun dulu hanya bisa dilakukan Nurdiana saat air laut surut.
Baca juga: Listrik Menyala Setelah 2 Minggu Padam karena Bencana, Sejumlah Warga NTT Pesta Kembang Api
Pada masa itu, warga Papagarang hanya dihadapkan pada satu opsi untuk mencari uang, yaitu mencari ikan di laut. Profesi itu pun, kata Abdul, hanya cukup untuk membiayai makan sehari-hari.
"Jadi nelayan hanya untuk bertahan hidup, bukan untuk mencari kekayaan. Ikan dulu memang banyak, tapi harganya jelek sekali," ucapnya.
Baca juga: Awas Main Layang-layang Sembarangan, Bisa Bikin Listrik Padam Total
Baru beberapa tahun terakhir, Abdul mencoba peruntungan menjadi tukang kayu. Saat bank terapung bersandar di Papagarang, dia meminjam uang untuk membeli genset dan mesin penyerut kayu.
Namun ketergantungan pada genset meminimalkan pendapatannya. Kala itu setiap hari setidaknya dia harus mengeluarkan Rp 80.000 untuk lima liter solar.
Dengan jumlah uang yang sama, Abdul kini bisa memperoleh listrik untuk tiga pekan.
"Sekarang, pekerjaan yang dulu baru selesai lima hari, bisa saya tuntaskan dalam dua hari.
Bagaimanapun, suplai listrik dari PLTS di Papagarang juga belum optimal. Masalah teknis dan kondisi cuaca, kata Abdul, kerap membuat listrik mati selama beberapa jam.
Baca juga: Beberapa Hal yang Perlu Kamu Lakukan Saat Listrik di Rumahmu Padam