Namun, hingga saat ini, korban terdampak bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo merasa kebijakan pemerintah pusat itu hanya sebuah gimik semata.
Marcus Johny Rany selaku Pengurus Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) mengatakan, saat ini ada 31 pelaku usaha yang menjadi korban semburan Lumpur Lapindo.
Menurut dia, permasalahan mengenai ganti rugi ini cukup sederhana jika pemerintah konsisten dengan aturan hukum.
"Sebetulnya masalah ini simpel saja, kalau pemerintah konsisten sama hukum, secara hukum dari Mahkamah Agung sudah menyatakan PT Lapindo Brantas tidak bersalah, sesuatu kesengajaan, dan dicabut, dengan sendirinya dia tidak perlu tanggung jawab lagi. Kenapa masih dipaksakan tanggung jawab?" kata Johny, saat dikonfirmasi, Senin (31/5/2021).
Karena itu, dalam masalah ini pemerintah harus hadir untuk menyelesaikan masalah ini.
"Soal bagaimana pemerintah menyelesaikan, bisa ditalangi dulu atau paksa Lapindo untuk membayar, itu urusan pemerintah," ujar dia.
Baca juga: Briptu Mario Sanoy Gugur Jaga Markas Sendirian, Kapolda Papua Evaluasi, Minimal 5 Orang di Pos
Namun, pada kenyataannya, pemerintah dinilai tidak bisa menyelesaikan masalah ganti rugi tersebut.
Sebab, pemerintah sendiri juga tidak bisa memaksa PT Lapindo Brantas karena secara hukum perusahaan tersebut tidak bersalah.
"Satu pihak meminta PT Lapindo Brantas harus bayar ganti rugi, di sisi lain, PT Lapindo Brantas lepas dari hukum," ucap dia.
Ia pun meminta pemerintah pusat memperhatikan nasib korban Lumpur Lapindo yang belum mendapatkan ganti rugi.
Pada awalnya, kata Johny, 31 pengusaha yang tergabung dalam GPKLL dijanjikan mendapatkan ganti rugi dengan sistem business to business atau B to B oleh PT Lapindo Brantas.
Sistem B to B itu ditawarkan kepada para yang tergabung di GPKLL. Sebagian pengusaha menerima dan sebagian lagi menolak karena tanahnya ditawar dengan harga murah.
Sistem B to B itu sendiri, kata Johny, tanah yang seharusnya memiliki harga 1 juta per meter, ditawar menjadi Rp 200.000-Rp 300.000.
Pengusaha yang bersedia akan diberikan uang muka sebesar 20 persen. Perjanjian tersebut berlaku selama dua tahun.
Jika PT Lapindo Brantas tidak bisa merealisasikan, perjanjian otomatis batal demi hukum.
"Tapi, setelah itu, macet. Semuanya gagal bayar dan perjanjian itu batal demi hukum. Sertifikat sebagian sudah diambil kembali," kata Johny.
Johny mengaku, tidak mengetahui jumlah pasti pelaku usaha yang menjadi korban semburan Lumpur Lapindo.
Namun, pengusaha yang tergabung di GPKLL, jumlahnya terdapat 31 pengusaha dengan jumlah total kerugian mencapai Rp 800 miliar.
Selama 15 tahun mereka telah menunggu kejelasan mengenai ganti rugi tersebut, namun hingga kini pemerintah tidak hadir untuk menyelesaikan ini karena pembayaran ganti rugi belum juga terealisasi.
"Bagi kami, korban, kami kan duluan kena. Sekarang kalau dilihat dari luar peta area terdampak yang belum kena lumpur sudah dibayar. Sedangkan kami yang duluan kena lumpur kira-kira sebagai manusia perasaannya gimana, kami 15 tahun digituin itu," kata Johny.
"Sedangkan pemerintah sendiri memakai tanah kami untuk tanggul tanpa sewa, tanpa ganti rugi, itu kan lucu," imbuh Johny.
Sebagai korban, Johny hanya bisa berharap pemerintah bisa segera menyelesaikan masalah tersebut.
Mengenai siapa yang harus bertanggung jawab dan membayar kerugian akibat semburan Lumpur Lapindo, ia menyerahkan semuanya kepada pemerintah.
"Kalau pemerintah bilang PT Lapindo Brantas yang tanggung jawab, ya sudah PT Lapindo Brantas yang tanggung jawab. Tapi, pemerintah harus kawal. Sedang di putusan MK nomor 83/PUU-XI/2013 itu jelas, bahwa pemerintah kan harus hadir dan menyelesaikan masalah ini," tutur dia.