Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

15 Tahun Lumpur Lapindo, Bagaimana Kejelasan Nasib Korban Bencana?

Kompas.com - 31/05/2021, 21:46 WIB
Ghinan Salman,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

Sumber Kompas.id

SIDOARJO, KOMPAS.com - Sudah 15 tahun bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, terjadi.

Fenomena bencana alam tersebut pertama kali terjadi di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, pada 29 Mei 2006.

Bencana itu bermula dari kebocoran sumur pengeboran gas milik PT Lapindo Brantas.

Mengutip pemberitaan Kompas (30/5/2006), semburan lumpur disertai gas keluar dari permukaan tanah melalui rawa yang ada di sekitar lokasi pengeboran.

Gas berwarna putih terembus hingga ke kawasan permukiman warga Desa Siring yang berjarak sekitar 150 meter dari rawa tersebut. Bau menyengat seperti amonia tercium hingga radius 500 meter dari lokasi.

Baca juga: Akibat Bencana Lumpur Lapindo, Pemkab Sidoarjo Ajukan Penggabungan 8 Desa Menjadi 4 Desa

Dalam sepekan semburan lumpur terus meluas menggenangi areal sekitar lokasi pengeboran.

Tidak hanya menggenangi rawa dan persawahan, lumpur juga mengancam permukiman warga, Jalan Tol Surabaya-Gempol, serta jalur kereta api Surabaya-Banyuwangi dan Surabaya-Malang.

15 tahun berlalu, persoalan bencana lumpur Lapindo masih belum terselesaikan hingga kini.

Pada Maret 2014 lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan korban lumpur Lapindo atas Pasal 9 Ayat 1 Huruf a UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang APBN yang mengatur pemberian ganti rugi terhadap korban semburan Lumpur Lapindo.

Ketentuan Pasal 9 UU APBN 2013 tersebut, dipandang MK telah menimbulkan ketidakadilan bagi korban Lumpur Lapindo yang berada di dalam peta area terdampak.

Sebab, pasal itu hanya mengamanatkan dana APBN yang dialokasikan negara di Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) hanya bisa digunakan untuk membayar ganti rugi masyarakat yang berada di luar peta area terdampak (PAT) semburan saja.

Namun, korban yang berada di dalam PAT, pembayaran ganti ruginya dibebankan kepada PT Lapindo Brantas.

Pada 2014 lalu, atau dua bulan setelah Joko Widodo dilantik sebagai Presiden periode pertama, Jokowi telah memutuskan bahwa pemerintah akan membantu masyarakat korban semburan Lumpur Lapindo di dalam peta area terdampak untuk mendapatkan ganti rugi.

Skema ganti rugi ini menggunakan dana talangan yang diambilkan dari APBN.

 

Namun, hingga saat ini, korban terdampak bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo merasa kebijakan pemerintah pusat itu hanya sebuah gimik semata.

Marcus Johny Rany selaku Pengurus Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) mengatakan, saat ini ada 31 pelaku usaha yang menjadi korban semburan Lumpur Lapindo.

Menurut dia, permasalahan mengenai ganti rugi ini cukup sederhana jika pemerintah konsisten dengan aturan hukum.

"Sebetulnya masalah ini simpel saja, kalau pemerintah konsisten sama hukum, secara hukum dari Mahkamah Agung sudah menyatakan PT Lapindo Brantas tidak bersalah, sesuatu kesengajaan, dan dicabut, dengan sendirinya dia tidak perlu tanggung jawab lagi. Kenapa masih dipaksakan tanggung jawab?" kata Johny, saat dikonfirmasi, Senin (31/5/2021).

Karena itu, dalam masalah ini pemerintah harus hadir untuk menyelesaikan masalah ini.

"Soal bagaimana pemerintah menyelesaikan, bisa ditalangi dulu atau paksa Lapindo untuk membayar, itu urusan pemerintah," ujar dia.

Baca juga: Briptu Mario Sanoy Gugur Jaga Markas Sendirian, Kapolda Papua Evaluasi, Minimal 5 Orang di Pos

Namun, pada kenyataannya, pemerintah dinilai tidak bisa menyelesaikan masalah ganti rugi tersebut.

Sebab, pemerintah sendiri juga tidak bisa memaksa PT Lapindo Brantas karena secara hukum perusahaan tersebut tidak bersalah.

"Satu pihak meminta PT Lapindo Brantas harus bayar ganti rugi, di sisi lain, PT Lapindo Brantas lepas dari hukum," ucap dia.

Ia pun meminta pemerintah pusat memperhatikan nasib korban Lumpur Lapindo yang belum mendapatkan ganti rugi.

Pada awalnya, kata Johny, 31 pengusaha yang tergabung dalam GPKLL dijanjikan mendapatkan ganti rugi dengan sistem business to business atau B to B oleh PT Lapindo Brantas.

Sistem B to B itu ditawarkan kepada para yang tergabung di GPKLL. Sebagian pengusaha menerima dan sebagian lagi menolak karena tanahnya ditawar dengan harga murah.

Sistem B to B itu sendiri, kata Johny, tanah yang seharusnya memiliki harga 1 juta per meter, ditawar menjadi Rp 200.000-Rp 300.000.

Pengusaha yang bersedia akan diberikan uang muka sebesar 20 persen. Perjanjian tersebut berlaku selama dua tahun.

Jika PT Lapindo Brantas tidak bisa merealisasikan, perjanjian otomatis batal demi hukum.

"Tapi, setelah itu, macet. Semuanya gagal bayar dan perjanjian itu batal demi hukum. Sertifikat sebagian sudah diambil kembali," kata Johny.

Johny mengaku, tidak mengetahui jumlah pasti pelaku usaha yang menjadi korban semburan Lumpur Lapindo.

Namun, pengusaha yang tergabung di GPKLL, jumlahnya terdapat 31 pengusaha dengan jumlah total kerugian mencapai Rp 800 miliar.

Selama 15 tahun mereka telah menunggu kejelasan mengenai ganti rugi tersebut, namun hingga kini pemerintah tidak hadir untuk menyelesaikan ini karena pembayaran ganti rugi belum juga terealisasi.

"Bagi kami, korban, kami kan duluan kena. Sekarang kalau dilihat dari luar peta area terdampak yang belum kena lumpur sudah dibayar. Sedangkan kami yang duluan kena lumpur kira-kira sebagai manusia perasaannya gimana, kami 15 tahun digituin itu," kata Johny.

"Sedangkan pemerintah sendiri memakai tanah kami untuk tanggul tanpa sewa, tanpa ganti rugi, itu kan lucu," imbuh Johny.

Sebagai korban, Johny hanya bisa berharap pemerintah bisa segera menyelesaikan masalah tersebut.

Mengenai siapa yang harus bertanggung jawab dan membayar kerugian akibat semburan Lumpur Lapindo, ia menyerahkan semuanya kepada pemerintah.

"Kalau pemerintah bilang PT Lapindo Brantas yang tanggung jawab, ya sudah PT Lapindo Brantas yang tanggung jawab. Tapi, pemerintah harus kawal. Sedang di putusan MK nomor 83/PUU-XI/2013 itu jelas, bahwa pemerintah kan harus hadir dan menyelesaikan masalah ini," tutur dia.

 

Sementara itu, Koordinator Forum Komunikasi Korban Lumpur Sidoarjo (FKKLS) Abdul Fattah mengatakan, sampai saat ini terdapat 120 berkas tanah dan bangunan yang ganti ruginya belum dibayar.

Adapun total nilai tanah dan bangunan dari 120 berkas berkas tersebut diperkirakan mencapai lebih dari Rp 100 miliar.

Ia mengaku, sudah berkali-kali memperjuangkan ganti rugi tersebut. Namun, pemerintah dinilai hanya memberi janji manis belaka.

"Ganti ruginya ini simalakama, betul (pemerintah) menanggapi. Baik di BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo), Kementerian PUPR, Watimpres, Dewan Pengarah Presiden, waktu itu satu tahunan lalu bertemu dengan Pak Basuki, jawabannya mau diselesaikan. Sampai sekarang enggak ada jebule (kejelasannya)," kata Fattah.

Baca juga: Bupati Malaka Instruksikan Hentikan Tenaga Kontrak: daripada Kasih Makan Babi atau Jaga Tempat Fotokopi

Ia menilai, pemerintah pusat sudah tidak bertanggung jawab karena dianggap tidak serius untuk menyelesaikan permasalahan ganti rugi kepada para korban terdampak semburan Lumpur Lapindo.

Karena itu, ia menyebut, para korban ingin bisa bertemu langsung dengan Presiden Jokowi untuk mempertanyakan ketegasan pemerintah dalam menyelesaikan dan menanggulangi permasalahan Lumpur Lapindo tersebut.

Namun, ia mengaku tidak tahu harus lewat mana dan menemui siapa untuk bisa bertemu dengan Presiden.

"Mohon Presiden bisa menyelesaikan hal ini. Keinginan warga sebetulnya ingin ketemu langsung dengan Bapak Presiden, tapi harus lewat mana dan siapa? Karena lewat bawahannya hanya manis di bibir saja," ucap Fattah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Kompas.id
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Digigit Anjing Tetangga, Warga Sikka Dilarikan ke Puskesmas

Digigit Anjing Tetangga, Warga Sikka Dilarikan ke Puskesmas

Regional
Elpiji 3 Kg di Kota Semarang Langka, Harganya Tembus Rp 30.000

Elpiji 3 Kg di Kota Semarang Langka, Harganya Tembus Rp 30.000

Regional
Motor Dibegal di Kemranjen Banyumas, Pelajar Ini Dapat HP Pelaku

Motor Dibegal di Kemranjen Banyumas, Pelajar Ini Dapat HP Pelaku

Regional
Penipuan Katering Buka Puasa, Pihak Masjid Sheikh Zayed Solo Buka Suara

Penipuan Katering Buka Puasa, Pihak Masjid Sheikh Zayed Solo Buka Suara

Regional
Setelah 2 Tahun Buron, Pemerkosa Pacar di Riau Akhirnya Ditangkap

Setelah 2 Tahun Buron, Pemerkosa Pacar di Riau Akhirnya Ditangkap

Regional
Cemburu, Pria di Cilacap Siram Istri Siri dengan Air Keras hingga Luka Bakar Serius

Cemburu, Pria di Cilacap Siram Istri Siri dengan Air Keras hingga Luka Bakar Serius

Regional
Buntut Kasus Korupsi Retribusi Tambang Pasir, Kades di Magelang Diberhentikan Sementara

Buntut Kasus Korupsi Retribusi Tambang Pasir, Kades di Magelang Diberhentikan Sementara

Regional
Nasib Pilu Nakes Diperkosa 3 Pria di Simalungun, 5 Bulan Pelaku Baru Berhasil Ditangkap

Nasib Pilu Nakes Diperkosa 3 Pria di Simalungun, 5 Bulan Pelaku Baru Berhasil Ditangkap

Regional
Kepsek SMK di Nias Bantah Aniaya Siswanya sampai Tewas, Sebut Hanya Membina

Kepsek SMK di Nias Bantah Aniaya Siswanya sampai Tewas, Sebut Hanya Membina

Regional
30 Ibu Muda di Serang Jadi Korban Investasi Bodong, Kerugian Capai Rp 1 Miliar

30 Ibu Muda di Serang Jadi Korban Investasi Bodong, Kerugian Capai Rp 1 Miliar

Regional
Penipuan Katering Buka Puasa Masjid Sheikh Zayed Solo, Dua Pengusaha Rugi Hampir 1 Miliar

Penipuan Katering Buka Puasa Masjid Sheikh Zayed Solo, Dua Pengusaha Rugi Hampir 1 Miliar

Regional
Pimpinan Ponpes Cabul di Semarang Divonis 15 Tahun Penjara

Pimpinan Ponpes Cabul di Semarang Divonis 15 Tahun Penjara

Regional
Viral, Video Penggerebekan Judi di Kawasan Elit Semarang, Ini Penjelasan Polisi

Viral, Video Penggerebekan Judi di Kawasan Elit Semarang, Ini Penjelasan Polisi

Regional
Pj Wali Kota Tanjungpinang Jadi Tersangka Kasus Pemalsuan Surat Tanah

Pj Wali Kota Tanjungpinang Jadi Tersangka Kasus Pemalsuan Surat Tanah

Regional
Polisi Aniaya Istri Gunakan Palu Belum Jadi Tersangka, Pelaku Diminta Mengaku

Polisi Aniaya Istri Gunakan Palu Belum Jadi Tersangka, Pelaku Diminta Mengaku

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com