Pemerintah terlihat tidak berdaya menyelesaikan kasus intoleransi, karena hanya merelokasi jemaah Ahmadiyah saja.
Pemerintah juga belum berhasil menempatkan kembali warga Ahmadiyah di kampung halamannya semula atau berbaur kembali dengan publik.
Pemerintah tak boleh tutup mata
Menyoroti persoalan konflik Ahmadiyah, dosen Fakultas Ushululddin dan Studi Agama (FUSA) UIN Mataram Wahid menilai, kasus intoleransi yang menimpa jemaah Ahmadiyah dipicu kurangnya edukasi warga terhadap nilai toleransi.
Dosen yang akrab disapa Abah Wahid ini menyebutkan, kasus penyerangan warga Ahmadiyah di Desa Gereneng diawali perkelahian antar anak yang kemudian merembet kepada persoalan aqidah.
"Kalau kita lihat kasus di Gereneng, pemicunya kan berawal dari perkelahian antar anak, yang kemudian menyeret orangtua dan berujung konflik persoalan pemahaman keyakinan ," kata Wahid.
Dalam catatan Wahid, kasus diskriminasi terhadap jemaah Ahmadiyah di Lombok lahir dari kondisi masyarakat yang secara tiba-tiba mempunyai anggapan Ahmadiyah menyeleweng dari Islam umumnya.
Padahal masyarakat itu sendiri belum pernah mendapatkan edukasi soal aliran atau paham Ahmadiyah.
"Selama ini kan kita belum ada diajarkan tentang suatu kelompok, seperti aliran Ahmadiyah, Suni, atau ataupun ajaran lainnya. Kita cuma tiba-tiba tahu Ahmadiyah itu disebut sesat, padahal kita tidak pernah belajar soal latar belakang pemahaman kelompok Ahmadiyah," kata Wahid.
Cara pandang Islam mayoritas yang cenderung berfikir konservatif, yang tiba-tiba menganggap jemaah Ahmadiyah sebagai kelompok sesat sangat disayangkan Wahid.
Hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk menilai suatu kelompok bersalah, sehingga memunculkan perilaku diskriminasi.
Dari pantauan kasus tersebut, Wahid menggambarkan bahwa edukasi tentang nilai toleransi beragama masihlah rendah, sehingga peran pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat sangat dibutuhkan.
Dari beberapa pengalaman kasus penyerangan Ahmadiyah, Wahid menilai pemerintah absen dalam penanganan konflik sosial tersebut.
Pemerintah harusnya tidak hanya hadir ketika terjadi konflik, kemudian diselesaikan secara hukum normatif, tapi juga harus hadir lebih masif dalam langkah-langkah pencegahan.
"Dalam beberapa kali kasus warga jemaah Ahmadiyah sejak 2006 lalu, saya kira pemerintah absen dalam melakukan pencegahan konflik semacam ini. Absen dalam artian tutup mata dalam kasus diskriminatif seperti ini," kata Wahid.
Menurut Wahid, pemikiran konservatif dapat diubah melalui jalur pendidikan formal maupun non-formal. Walaupun hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang.