Ismail menyebutkan, rumah di kampung halamannya masih rusak, dan ia meninggalkan beberapa bidang tanah sawah yang kini digarap kerabatnya.
Ismail jarang pulang ke kampung halaman, jika tidak ada keperluan yang sangat mendesak.
“Kalau tidak ada yang penting-penting sekali, saya tidak pulang. Cuma sekali setahun mungkin, jenguk keluarga, dan saya sudah merasa nyaman di sini,” kata Ismail.
Selain keluarga Ismail, keluarga Edi Sucipto juga membagikan pengalaman selama tinggal di lokasi relokasi.
Bagi Edi, ia tidak punya harapan lagi untuk kembali ke kampung halaman, mengingat belum ada kabar dari pemerintah atas insiden tiga tahun lalu.
“Kalau masalah kepastian balik ke rumah belum ada kepastian. Sudah berbagai macam cara diperjuangkan, tapi nihil hasilnya. Sudah tidak ada harapan lagi, sudah,” kata Edi saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (31/3/2021).
Edi mengatakan, keluarganya kini telah merasa nyaman tinggal di tempat baru. Dia juga sudah memiliki pekerjaan yang layak untuk menafkahi anak dan istri.
Edi kini menjadi tukang bangunan. Banyak dari teman-temannya dulunya menjadi korban penyerangan, ikut dalam proyek Edi sebagai buruh bangunan.
Disampaikan Edi bahwa rumah dan lahan sawah di kampung halamannya sudah terjual, mengingat ia tidak punya harapan lagi untuk pulang ke desanya itu.
“Kalau saya sih sudah selesai semuanya, tidak mau saya ambil pusing, santai aja. Intinya sudah ada kerjaan, dapat memenuhi kebutuhan anak istri, Alhamdulillah itu saja,” kata Edi.
Cara pemerintah tangani kasus Ahmadiyah
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Provisi Nusa Tenggara Barat, Lalu Abdul Wahid mengatakan, kasus jemaah Ahmadiyah merupakan kasus lama yang masih menjadi atensi pemerintah daerah.
Abdul mengklaim berbagi upaya telah dilakukan dalam penyelesaian kasus tersebut.
Salah satunya dengan cara berdialog bersama jemaah Ahmadiyah maupun masyarakat yang menolak kehadiran kelompok itu.
"Kita mengedepankan edukasi masyarakat untuk tidak main hakim sendiri. Kita Bakesbangpol sendiri tetap memantau, memonitoring perkembangan, dan menjamin keamanan Ahmadiyah tersebut," kata Abdul melalui sambungan telpon, Jumat (16/4/2021).
Kendati demikian, Abdul menyebutkan, pihak Ahmadiyah sendiri juga tidak harus memaksakan kehendak agar bisa kembali ke kampung halamannya, jika potensi resistensi sangatlah tinggi.
"Misalkan, di kampung A ada Ahmadiyah dan ada resistensi di kampung itu, terus Ahmadiyah memaksakan diri untuk balik kampung, itu yang namanya memaksakan diri. Padahal kita sudah buatkan solusi," kata Abdul.
Abdul mengatakan, saat ini pemerintah sedang melakukan perencanaan bantuan infrastruktur berupa tempat tinggal kepada jemaah Ahmadiyah, tapi dengan cara yang senyap.
"Sejauh yang kita amati, berdasarkan pengamatan yang kita lakukan tidak ada aspek-aspek seperti itu (politik, ekonomi) ini murni persoalan perbedaan pemahaman saja," kata Abdul.
Abdul mengimbau kepada masyarakat agar tidak cepat main hakim sendiri jika ada persoalan perbedaan pemahaman maupun keyakinan, seperti yang menimpa warga Ahmadiyah.
Dosen Antropologi Agama Fakultas Ushululddin dan Studi Agama (FUSA) Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Dr Abdul Wahid menilai sikap pemerintah yang hanya merelokasi jemaah Ahmadiyah seperti membenarkan sikap intoleransi dari warga.
"Ini pemerintah hanya seperti mengamini sikap intoleransi yang dilakukan warga itu sendiri. Pemerintah seperti disandera oleh cara pandang mayoritas keagamaan saja," ujar dia.
Baginya, pemerintah harus tegas memberikan perlindungan terhadap setiap warga negara yang memeluk dan menganut kepercayaannya masing-masing.