KOMPAS.com - Dua adik penulis Pramoedya Ananta Toer mendirikan perpustakaan PATABA yang terinspirasi dari keinginan sang kakak yang ingin mengembangkan literasi di Blora.
Mereka adalah Koesala Subagyo dan Soesilo Toer. PATABA adalah singkatan dari Pramoedya Ananta Toer Anak Blora Asli.
Namun, kepanjangannya tersebut diubah menjadi Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa karena sempat terjadi sentimen anti-Tionghoa yang dialamatkan kepada keluarga Toer.
Alasan lainnya adalah karena Anak Semua Bangsa adalah salah satu buku fenomenal karya Pramoedya.
Baca juga: Kisah Soesilo Toer, Adik Pramoedya Ananta Toer yang Bergelar Doktor dan Kini Jadi Pemulung (1)
Namun kenyataannya, perpustakaan yang sebagian besar diurus oleh Soesilo Toer lebih dikenal di kancah nasional hingga intenasional dari pada masyarakat Blora Sendiri.
"Di dekat sini ada 15 guru [yang tinggal], tapi 16 tahun PATABA berdiri tak pernah ada satu pun dari mereka yang datang," kata Soesilo Toer dikutip dari National Geographic Indonesia.
Padahal, Perpustakaan PATABA memiliki banyak koleksi buku mulai dari fiksi untuk anak-anak hingga koleksi tinjauan akademis.
Baca juga: Kisah Soesilo Toer Dituding PKI, Jadi Pemulung Lalu Bangun Perpustakaan untuk Sang Kakak (2)
Sebagian besar koleksi buku di perpustakaan tersebut adalah milik Soesilo sejak ia kuliah di Uni Soviet, beli dari Pasar Senen, Jatinegara, dan Tanah Abang saat dia masih menjadi dosen di Jakarta.
Meski demikian, Soesilo mengaku ia adalah pengusung ide perpustakaan tersebut.
Ide itu muncul karena kebiasaan dia menyisihkan uang untuk membelikan buku para mahasiswanya saat ia masih mengajar di Universitas 17 Agustus di Jakarta.
"Saya bilang ke mahasiswa saya yang sering datang ke rumah, 'Silakan apa saja berbuat di sini, asal jangan mabuk!' Bebas mau urusan studi atau diskusi," ujarnya.
Baca juga: Kisah Soesilo Toer Mengenang Pramoedya Ananta Toer, Cinta Tanah Air dan Islam Tulen (3)
Sehingga, ia menyebut Perpustakaan PATABA adalah ungkapan balas budi untuk mencerdaskan bangsa, dengan moto "Masyarakat Indonesia Membangun Melalui Indonesia Membaca, Menuju Masyarakat Indonesia Menulis"
Untuk mengembangkan perpustakaan, Soesilo Toer mengeluarkan dana sendiri dari hasil penerbitan buku dan kegiatannya memulung.
Baca juga: Mengenang Perjalanan Hidup Pramoedya Ananta Toer...
Untuk lokasinya sendiri adalah rumah masa kecil dirinya bersama saudara-saudari kandungnya yang terus dirawat dari waktu ke waktu.
Guna merealisasi peranan perpustakaan untuk literasi masyarakat luas, Perpustakaan PATABA kerap mengadakan berbagai kegiatan, seperti bedah buku, diskusi dan seminar, workshop penulisan, penerbitan buku, dan pergelaran budaya.
Baca juga: Pramoedya Ananta Toer dan Bumi Manusia: Perlawanan dari Balik Penjara
Saat ini PATABA Press berada di bawah naungan Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang Surut.
"Saya pakai percetakan di mana-mana, ke Semarang di Pustaka Mandiri, seperti yang karya saya Dunia Samin yang sampai dapat penghargaan--bahkan mau dijadiin sandiwara oleh anak akademi di Jogja," ujarnya.
Baca juga: Kontroversi Magsaysay Award dan Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer
Aktivitas percetakan itu tak hanya dilakukan Soesilo sendirian, ia juga melibatkan putranya, Benee Santoso, dan istrinya, Suratiyem.
Tak hanya secara formal, ia juga memgenalkan literasi di jalanan lewat program Penjara (Perpustakaan Jalanan Blora) yang kerap diadakan di alun-alun kota.
Aktivitas ini juga menginspirasi komunitas punk di Blora untuk turut meningkatkan literasi masyarakat sekitar hingga kini
Baca juga: Pramoedya Ananta Toer dan Bumi Manusia, Perlawanan dari Dalam Penjara
Sayangnya, sistem ini diakui oleh Soesilo yang menyebabkan buku koleksi perpustakaannya menyusut dan berpindah posisi.
Apalagi, Perpustakaan PATABA tak melarang pengunjung untuk membawa tas ke dalam ruangan sehingga terbuka.
Masalah yang dialami Perpustakaan PATABA tampak pada pemeliharaan koleksinya yang kurang diperhatikan.
Baca juga: Pram dan Pulau Buru, Tempat Lahirnya Bumi Manusia
Hampir semua buku yang ditemukan tak bersampul, rusak, dan dimakan rayap. Hal ini disebabkan tak ada tenaga pekerja pada perpustakaan keluarga ini.
Untuk mengatasi itu, Perpustakaan PATABA lebih mengandalkan pada pemberdayaan oleh berbagai kelompok sosial yang berkunjung, seperti Lempaga Penelitian Aplikasi Wacana (LPAW), Samijoyo Allstar, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Blora, dan Mahameru.
Lu'lu Atuzzahroh dan Joko Wasisto dari Ilmu Kepustakaan Universitas Diponegoro dalam penelitian mengungkapkan bahwa berbagai lembaga yang berkunjung itulah yang membantu PATABA untuk tetap hidup melalui jalinan relasi, percetakan, dan penyandang dana lainnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.