Buat Mulyani, Bundengan punya makna mendalam. Benda ini baginya tak hanya sekadar alat musik.
“Banyak pesan moral, budi pekerti, dan banyak lagi. Nilai-nilai ini yang saya bagi untuk siswa-siswi. Filosofi soal Bundengan ini pun dalam sekali bagi saya,” kata Mulyani.
Memainkan Bundengan, kata dia, harus dalam posisi anurogo—sikap duduk bersimpuh—yang berarti mengajarkan diri untuk berserah.
“Seperti sikap saat kita berkomunikasi dengan sang khalik. Memainkan alat musik (Bundengan) juga melatih kesabaran, ketekunan, dan konsentrasi. Soal gubahan lagu yang dibuat anak-anak juga saya harap dapat merangsang apa yang ingin mereka sampaikan,” kata Mulyani.
Lalu, bahan pembuat yang bermacam-macam selain bambu, yakni senar dan ijuk, dimaknai sebagai kehidupan manusia yang penuh warna. Belum lagi bentuknya, ada pula makna soal itu.
“Maknanya mungkin seperti apa yang kita sebut sebagai habluminannas dan habluminallah. Bagaimana bisa sama-sama punya hubungan yang baik,” tambahnya.
Dalam wawancara, Mulyani sempat melantunkan beberapa tembang hasil gubahan anak-anak. Salah satunya, tembang Sulasih.
“Makna (lagu) ini mendalam. Indah sekali,” katanya.
Soal tembang favorit, Mulyani juga punya. Ia mengaku sangat menyukai lagu Lir Ilir.
Mulyani tak pernah menyangka, kecintaan dan upayanya mengenalkan Bundengan diperhatikan banyak pihak. Sampai akhirnya, beberapa waktu lalu ia mendapat penghargaan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai salah satu orang dari 75 ikon Pancasila.
Sebagai pertanggungjawaban atas penghargaan itu, Mulyani berencana membuat Kebun Edukasi.
“Di Banjarnegara, saya punya lahan, tak luas, hanya 3.000 meter persegi. Kebun ini akan saya jadikan tempat seperti lokasi bermain dan pertunjukan. Di sana, anak-anak bebas bermain permainan tradisional. Misalnya permainan kartu tebak gambar, nanti kami inovasikan dengan pengenalan Pancasila,” tambahnya.
Kini, selain rencana itu, ia masih punya satu cita-cita yang masih ingin dicapai. Masih soal Bundengan.
“Saya sedang ajukan ke Dinas Pendidikan dan Pariwisata, satiap sekolah di wilayah Wonosobo harusnya memiliki satu saja Bundengan untuk mempertahankan kearifan lokal,” harapnya.
Mengingat fungsi dan tujuannya, menurut dia, permintaan itu cukup sederhana.
“Harga Bundengan itu yang bagus kurang lebih Rp 1 juta, yang biasa minimal Rp 300.000.
Paling tidak sekolah di Wonosobo punya satu dulu saja Bundengan. Seelah itu kenalkan pada murid.
"Caranya bebas, buat awal, mungkin cara saya bisa jadi inspirasi dengan memajangnya (Bundengan) di lobi sekolah,” tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.