Salin Artikel

Berkenalan dengan Mulyani, Wanita yang Membawa Bundengan sampai ke Australia

Pertanyaan Mulyani tak mendapat jawaban yang melegakan. Menurutnya, seluruh anak muda di Wonosobo kala itu tak lagi bisa memainkan Bundengan—alat musik tradisional asal Wonosobo.

“Pemainnya yang bisa (memainkan) hanya tersisa dua itu. Saya jadi berpikir, bagaimana ya biar bisa melestarikannya,” ujar Bu Mul, begitu panggilan karibnya.

Mulyani memang memiliki ketertarikan pada seni sejak muda. Waktu duduk di bangku sekolah dasar (SD), dia sudah berkenalan dengan dunia tari dan berlanjut hingga sekolah menengah pertama (SMP). 

Saat ini, ia berprofesi sebagai guru seni di SMPN 2 Selomerto. Profesi itu yang membuatnya merasa memiliki tanggung jawab untuk melestarikan alat musik itu pada siswa-siswi yang ia ajar.

“Dibandingkan orang lain, saya yang punya kesempatan lebih untuk mengenalkannya pada generasi muda. Ada siswa-siswi di sekolah,” tuturnya.

Mulyani mempelajari cara memainkan Bundengan pada Pak Munir dan Bukhori. Lalu, ia menjalankan rencana pertama.

Ia taruh Bundengan di lobi sekolah. Tujuannya, agar ada yang bertanya. Sayangnya, berhari-hari alat musik berbentuk unik itu terpajang, tak ada yang bertanya.

Usahanya berlanjut, tiap pagi sesampainya di sekolah, alat musik itu ia mainkan untuk menarik perhatian. Sejak itu, mulai ada hasil. Beberapa siswa-siswi mulai mendatanginya, melihat-lihat, dan bertanya.

Di tahun yang sama, kemudian ia minta izin pada kepala sekolah untuk mengenalkan Bundengan secara serius pada siswa-siswi.

Permintaan itu disetujui dengan menjadikan kegiatan bermusik menggunakan Bundengan menjadi ekstrakurikuler. Saat itu 20-30 anak sudah ikut menjadi anggota.

Tak berhenti sampai situ, Mulyani mau dampak yang lebih besar lagi.

Kemudian, ia sempat melihat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) tertulis kalau siswa-siswi diperkenankan untuk mempelajari alat musik sederhana tradisional. Hal itu ia tangkap sebagai peluang.

“Ternyata ada lho di situ, tinggal bagaimana kami (guru) mengimplementasikannya. Saya datang lagi pada Kepala Sekolah. Akhirnya disetujui masuk ke dalam kurikulum,” kisahnya.

Sejak itu, lantunan tembang yang diiringi bunyi-bunyian Bundengan jadi hal yang biasa di sekolah.

“Awalnya mungkin anak-anak terpaksa. Rumit di awal, tapi saya lihat akhirnya mereka menikmati. Apalagi, mereka mulai termotivasi saat ada beberapa stasiun televisi yang datang ke sekolah kami untuk meliput, mereka di-shoot. Wah kesannya keren sekali,” ujar Bu Mul.

Di Wonosobo, SMPN 2 Selomerto memang menjadi satu-satunya sekolah yang memasukkan Bundengan dalam kurikulum. Mereka saat ini punya sekitar 40 Bundengan. Karena dianggap berbeda, beberapa media datang meliput.

“Saya juga ajak anak-anak untuk ikut pentas dan kompetisi. Kami juga bikin event, bikin konser 100 Bundengan. Mereka senang sekali,” sambungnya.

Konser itu sengaja diselenggarakan untuk umum. Pemain Bundengannya 90 persen berasal dari siswa-siswi SMPN 2 Solomerto. Dalam acara itu, mereka juga mengundang anak SD, kemudian mengadakan workshop. Tujuannya, agar Bundengan lebih dikenal lagi.

Soal kompetisi, siswa-siswi sekolah yang diajarkannya juga bukan sekali dua kali membawa pulang piala.

“Makin ke sini, saya melihat anak-anak punya antusias secara alami pada Bundengan. Mereka bahkan membuat motif batik Bundengan,” tambahnya.

Antusias yang juga terlihat adalah gubahan tembang yang dilakukan anak-anak sebagai iringan lagu Bundengan.

“Lagu-lagu Jawa tradisional, biasanya mereka gubah agar lebih relevan. Biasanya kalau lagu aslinya kan banyak perumpamaan,” jelas Mulyani.

Mulyani juga mengeksplorasi seni musik ini menjadi pengiring tari dan wayang. Jadi, anak-anak tak hanya diajarkan cara memainkannya, tapi juga dikolaborasikan dengan seni yang lain.

Klimaksnya, saat ujian kelas IX, ia bilang, 80 persen siswa-siswi memilih ujian memainkan alat musik tersebut.

“Mereka itu dapat tiga pilihan. Membuat rupa batik motif Bundengan, menari degan properti Bundengan, atau memainkan alat musik secara langsung dan dibuat video. Hasilnya itu (80 persen) memilih yang ketiga, saya senang sekali,” ceritanya.

Selain siswa, Mulyani juga mengajarkan cara memainkan Bundengan pada anak-anak disabilitas dan mengajak mereka pentas.

Mejeng di alun-alun sampai ke Austalia

Berhasil melestarikan di sekolah bukan berarti perjuangan Mulyani selesai. Ia terus mencari cara agar masyarakat cepat mengenal Bundengan.

Suatu kali, ia sengaja berjalan-jalan di alun-alun membawa Bundengan. Ia pakai cara yang sama saat kali pertama mengenalkan Bundengan di sekolah.

“Saya mejeng di alun-alun. Itu (Bundengan) saya tenteng-tenteng. Saya tanya ke orang-orang yang lewat. Mas, mbak, tahu ini apa? Ini Bundengan. Sini lihat saya kalau mau tahu, saya mainkan,” cerita Mul sambil tertawa.

“Ada lagi, saya juga datangi polisi di sana. Pak Polisi, Pak Polisi, mau dengar saya main enggak? Ayo perkenalkan ini Bundengan. Bolehin saya main di sini ya? Saya mau perkenalkan ini ke Bapak,” pintanya.

Lagi-lagi, kisah itu diceritakan Mulyani sambil tertawa. Ia mengingat pengalaman itu sebagai perjuangan yang menyenangkan. Ia sampai menamai cara itu “gila” dan “ekstrem”. Meskipun banyak yang tak peduli, buat dia tak akan sia-sia.

Toh, saat itu masih ada segelintir orang yang menghampirinya. Ada juga yang sengaja berfoto-foto dan posting di Instagram.

“Saya memang begitu Mbak, semangat kalau ada kesempatan. Entah kenapa lewat Bundengan ini, saya pikir adalah kesempatan saya berbuat sesuatu untuk negara. Kalau dipikir-pikir, di sini (Wonosobo), mungkin saya yang paling ‘gila’ cintanya dengan Bundengan,” ujarnya.

Kali lain, ia juga tak segan kirim proposal ke pemerintah daerah (pemda) dan dinas pariwisata untuk mengadakan event. Anak-anaknya akan pentas jika event terlaksana.

Begitu juga kalau ada acara pemda, ia usul untuk pesan suvenir bentuk Bundengan. Dengan begini, Bundengan bisa dikenal banyak orang.

Mulyani juga menjadi penggerak bagi pengrajin Bundengan untuk terus berkarya. Jumlah pengrajin, kata dia yang semakin sedikit, memotivasi dia untuk menggerakkan mereka.

“Kalau ada acara dan kesempatan, saya minta mereka buat Bundengan. Pernah ada keponakan, dia berbisnis bambu (bahan baku Bundengan), lantas saya bawa ke pengrajin yang sepuh, Mbah Marumi, yang sudah tidak produksi. Saya minta dia belajar agar bisa menghasilkan produk (Bundengan) bernilai. Secara tak langsung, saya juga membuat pengrajin tadi merasa punya murid kan? Dua-duanya jadi termotivasi,” jelasnya.

Pengalaman lain soal sosialisasi dan motivasi Bundengan ini juga diceritakan saat 2019 ia pentas tari di rutan. Di sana, kata Mulyani, ada yang punya bakat membuat patung.

“Saya minta dia buat patung Bundengan,” kisahnya.

Salah satu pengalaman tak terlupakan adalah membawa Bundengan sampai dikenal di mancanegara.

Mulyani menceritakan, suatu kali ada mahasiswa Monash University menghubunginya. Ia datang ke sekolah dan mau melihat Bundengan. Dijelaskan oleh mahasiswi tersebut, ia diberi tugas oleh dosennya yang tertarik meneliti soal Bundengan.

“Dilihat itu Bundengan di sekolah kami. Rupanya, dulu itu (dosennya sudah bawa Bundengan ke sana sejak 1972), Bundengan terpajang di museum kampus mereka. Saat ini, Bundengannya sudah rusak,” tuturnya.

Singkat cerita, pihak kampus bekerja sama dengan sekolah. Selain Monash University, Melbourne University juga ikut bekerja sama. Mereka pun diboyong sampai ke Australia.

Makna mendalam

Buat Mulyani, Bundengan punya makna mendalam. Benda ini baginya tak hanya sekadar alat musik.

“Banyak pesan moral, budi pekerti, dan banyak lagi. Nilai-nilai ini yang saya bagi untuk siswa-siswi. Filosofi soal Bundengan ini pun dalam sekali bagi saya,” kata Mulyani.

Memainkan Bundengan, kata dia, harus dalam posisi anurogo—sikap duduk bersimpuh—yang berarti mengajarkan diri untuk berserah.

“Seperti sikap saat kita berkomunikasi dengan sang khalik. Memainkan alat musik (Bundengan) juga melatih kesabaran, ketekunan, dan konsentrasi. Soal gubahan lagu yang dibuat anak-anak juga saya harap dapat merangsang apa yang ingin mereka sampaikan,” kata Mulyani.

Lalu, bahan pembuat yang bermacam-macam selain bambu, yakni senar dan ijuk, dimaknai sebagai kehidupan manusia yang penuh warna. Belum lagi bentuknya, ada pula makna soal itu.

“Maknanya mungkin seperti apa yang kita sebut sebagai habluminannas dan habluminallah. Bagaimana bisa sama-sama punya hubungan yang baik,” tambahnya.

Dalam wawancara, Mulyani sempat melantunkan beberapa tembang hasil gubahan anak-anak. Salah satunya, tembang Sulasih.

“Makna (lagu) ini mendalam. Indah sekali,” katanya.

Soal tembang favorit, Mulyani juga punya. Ia mengaku sangat menyukai lagu Lir Ilir.

Jadi ikon Pancasila

Mulyani tak pernah menyangka, kecintaan dan upayanya mengenalkan Bundengan diperhatikan banyak pihak. Sampai akhirnya, beberapa waktu lalu ia mendapat penghargaan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai salah satu orang dari 75 ikon Pancasila.

Sebagai pertanggungjawaban atas penghargaan itu, Mulyani berencana membuat Kebun Edukasi.

“Di Banjarnegara, saya punya lahan, tak luas, hanya 3.000 meter persegi. Kebun ini akan saya jadikan tempat seperti lokasi bermain dan pertunjukan. Di sana, anak-anak bebas bermain permainan tradisional. Misalnya permainan kartu tebak gambar, nanti kami inovasikan dengan pengenalan Pancasila,” tambahnya.

Kini, selain rencana itu, ia masih punya satu cita-cita yang masih ingin dicapai. Masih soal Bundengan.

“Saya sedang ajukan ke Dinas Pendidikan dan Pariwisata, satiap sekolah di wilayah Wonosobo harusnya memiliki satu saja Bundengan untuk mempertahankan kearifan lokal,” harapnya.

Mengingat fungsi dan tujuannya, menurut dia, permintaan itu cukup sederhana.

“Harga Bundengan itu yang bagus kurang lebih Rp 1 juta, yang biasa minimal Rp 300.000.

Paling tidak sekolah di Wonosobo punya satu dulu saja Bundengan. Seelah itu kenalkan pada murid.

"Caranya bebas, buat awal, mungkin cara saya bisa jadi inspirasi dengan memajangnya (Bundengan) di lobi sekolah,” tambahnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/12/23/09050011/berkenalan-dengan-mulyani-wanita-yang-membawa-bundengan-sampai-ke-australia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke