Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Raden Mattaher Jadi Pahlawan Nasional, Panglima Perang yang Ditakuti, Gugur Usai Shalat Malam

Kompas.com - 07/11/2020, 16:48 WIB
Suwandi,
Farid Assifa

Tim Redaksi

Kematian Sultan Thaha sempat memukul mental Raden Mattaher. Namun demikian, sebagai panglima perang, dia tetap mengobarkan semangat perlawanan.

Namun kekuatan Belanda terus bertambah. Banyak daerah juga telah dikuasai Belanda.

Pada penghujung 1907, Raden Mattaher hendak diungsikan ke Batu Pahat, Malaysia. Uang 500 ringgit sebagai bekal telah disiapkan.

Sebelumnya, beberapa keluarga keturunan Sultan Thaha Syaifuddin dan saudara Raden Mattaher sudah mengungsi lebih dulu.

“Aku tidak sampai hati meninggalkan kalian dalam kesusahan dan mengalami penyiksaan. Sementara aku selamat dari Belanda. Aku tetap di sini, menunggu Belanda sampai peluru menembus kulit. Aku ingin mati syahid,” tulis Arman dalam bukunya, mengutip pernyataan Raden Mattaher.

Hari Kamis gerimis datang. Gemuruh bersahutan. Sebelum tengah malam Raden Mattaher bersalin pakaian. Dia mengenakan pakaian paling bagus dan pinggangnya dibebat. Lalu mengisi peluru senapang mauscher.

Adiknya, Raden Achmad, duduk menunggui senapang. Pintu belakang dijaga orang dari Mentawak, Gabuk.

Suasana malam hening, Raden Mattaher membunyikan kecapi, kemudian shalat malam.

Sekitar pukul 03.00 pagi, pasukan Belanda telah mengempung rumahnya. Untuk terakhir kali, Raden Mattaher diminta menyerah. Namun dia menolak, sampai kulitnya tertembus peluru.

Baca juga: Akan Diberi Gelar Pahlawan Nasional, Siapa Sosok Kapolri Pertama Soekanto?

Setelah Raden Mattaher gugur di Muaro Jambi, 10 September 1907, maka pasukan Belanda mengangkut mayat Raden Mattaher untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai.

Atas permintaan para pemuka agama, maka Raden Mattaher dimakamkan secara Islam di pemakaman Raja-raja Jambi di pinggiran Danau Sipin.

Menurut Arman, pada masa mudanya, Raden Mattaher adalah seorang pemuda yang belum memikul suatu jabatan apa pun di dalam kesultanan Jambi. Tapi beliau telah memperlihatkan sebagai seorang kesatria, berani, cerdas, dan pandai mengatur strategi.

Setelah Raden Mattaher gugur, pertempuran tetap membara di berbagai penjuru. Tetapi tidak lama dan kerap menelan kekalahan.

Makam kelingking di kawasan candi

Budayawan asal Muaro Jambi, Abdul Havis atau akrab disapa Ahok menuturkan, jejak perjuangan dan peninggalan Raden Mattaher yang otentik masih ditemukan di dekat kompleks Candi Muarojambi.

"Rumah panggung tua terbuat dari papan dan menjadi tempat gugurnya sang pahlawan," kata Ahok menjelaskan.

Pada rumah itu terdapat lubang bekas tembakan peluru tentara Belanda. Tak jauh dari rumahnya, terdapat makam jari kelingking Raden Mattaher.

Masyarakat di Desa Muarajambi meyakini makam jari kelingking itu adalah milik Raden Mattaher. Menurut masyarakat setempat, jari pahlawan yang dikenal dengan Singo Kumpeh itu putus dan tertinggal dalam perang sekitar tahun 1907.

Bukti yang menguatkan, sambung Ahok, adalah pada jarinya terdapat inai (pewarna kuku). Sebelum perang, Raden Mattaher sempat memakai inai sebagai tanda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com