Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antisipasi Kelangkaan Pangan, IPB Serukan Revolusi Meja Makan

Kompas.com - 21/10/2020, 14:18 WIB
Afdhalul Ikhsan,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

KABUPATEN BOGOR, KOMPAS.com - Institut Pertanian Bogor (IPB) University menyerukan agar isu kelangkaan pangan disikapi dengan serius oleh berbagai pihak.

Pasalnya, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama ini dikhawatirkan akan mengganggu sistem rantai pasokan pangan.

IPB menilai, perlu adanya upaya strategis untuk menghindari kelangkaan bahan makanan selama masa pandemi Covid-19 ini.

Baca juga: Kekerasan Terhadap Anak Meningkat Selama Pandemi, Dosen IPB Jelaskan Penyebabnya

Dosen IPB University dari Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH) Fakultas Pertanian (Faperta) Prof Dr Edi Santosa mengungkapkan, strategi mengantisipasi kelangkaan pangan akibat pandemi Covid-19 adalah dengan mengajak masyarakat melakukan revolusi meja makan.

"Revolusi meja makan adalah diversifikasi pangan yang harus dimulai dari rumah tangga," kata Edi melalui keterangan tertulis IPB yang diterima Kompas.com, Rabu (21/10/2020).

Menurut dia, kebutuhan pangan selama masa pandemi harus dipersiapkan dengan baik.

Fenomena yang muncul saat ini adalah masyarakat secara sadar melakukan diversifikasi pangan selama masa isolasi wilayah.

Baca juga: Masa Pengenalan Kampus IPB Pecahkan Rekor Dunia Stop Motion Animation

Secara alami, masyarakat mulai mengonsumsi pangan lokal yang tersedia di wilayahnya masing-masing.

Menurut Edi, hal ini menunjukan pentingnya peran pangan lokal untuk ketahanan pangan selama masa pandemi Covid-19.

Jumlah pangan lokal, menurut Edi, tersedia dalam jumlah banyak dan jenisnya beragam di setiap wilayah.

Selain itu, pengetahuan lokal tentang pangan sudah ada di masyarakat Indonesia.

"Pengetahuan ini harus ditransformasikan ke dalam kearifan lokal di masyarakat, sehingga  terbiasa untuk mengonsumsi pangan lokal wilayahnya," ujar dia.

Edi menjelaskan, cara pertama adalah membangun memori individual dan memori kolektif. 

Memori individual dibangun dari kebiasaan makan sehari-hari seperti saat kecil dulu pernah makan nasi jagung, papeda, sup bubur garut dan lainnya.

Sedangkan memori kolektif adalah kesadaran dan tanggung yang dibangun di masyarakat.

 

Misalnya dengan menerapkan pembelajaran tentang pangan lokal di institusi pendidikan atau institusi sosial.

Sebagai contoh, masyarakat Jepang rutin membuat perayaan dengan mengonsumsi pangan lokal yang ada di wilayahnya.

Edi mengatakan, orang Jepang bisa mengonsumsi ubi jalar atau gandum yang dijadikan ketan.

Masyarakat secara beramai memukulkan alunya untuk membuat makanan lokal dalam sebuah upacara perayaan.

"Hal ini contoh transformasi kearifan lokal dijadikan sebagai pangan lokal. Akhirnya saat pasar stabil, para petani akan menanam bahan pangan lokal hingga meningkatkan perekonomian mereka,” kata Edi.

Saat ini, menurut Edi, keragaman menu makanan di Indonesia masih rendah meskipun bahan pangan sangat beragam.

Sebagai contoh, orang Jepang biasa mengkonsumsi 21 jenis makanan saat sarapan pagi.

Kemudian ada 20 jenis saat makan siang dan ada 34 jenis menu makan malam.

Sedangkan, orang Indonesia rata-rata hanya mengonsumsi 8 jenis menu makanan pada saat sarapan dan 15 jenis pada saat makan siang.

Kemudian, saat makan malam hanya 8 jenis makanan.

Adapun upaya untuk mengenalkan pangan lokal secara masif melalui berbagai metode.

Saat ini kemajuan teknologi informasi bisa digunakan untuk mempopulerkan pangan lokal kepada masyarakat.

Selain itu, menurut Edi, penting juga untuk mentransformasikan potensi wisata dengan pangan lokal yang khas di daerahnya.

“Revolusi meja makan akan menunjukkan bahwa pangan lokal tidak identik dengan pangan sengsara, sehingga pangan lokal akan dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat luas," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com