Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Petani Kopi di Lereng Gunung Merapi, Erupsi Jadi Berkah

Kompas.com - 30/09/2020, 10:55 WIB
Wijaya Kusuma,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com -Lereng Gunung Merapi yang subur, cocok untuk budidaya Kopi. Pembudidayaan kopi di lereng gunung sudah berjalan secara turun - temurun.

Meski keberadaanya cukup lama, tapi erupsi Gunung Merapi pada 2010 menjadi momentum melambungkan nama kopi Merapi.

"Kopi Merapi sebenarnya sudah ada cukup lama," ujar salah satu petani kopi di Lereng Merapi, Suryono saat ditemui di rumahnya, Dusun Gondang Pusung, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, baru-baru ini.

Suryono menyampaikan kopi di Lereng Gunung Merapi sempat meredup. Sebab harga kopi saat itu cukup rendah.

Baca juga: Hidup Penuh Berkah di Lereng Gunung Merapi

Hingga akhirnya beberapa warga menelantarkan pohon kopi yang ada di kebun mereka.

"Sekitar tahun 1981 harganya itu jatuh sampai hanya lima Rp 5.000. Jadi kopi itu hanya ditelantarkan saja," bebernya.

Meski, harga turun tapi beberapa petani masih bertekad untuk bertahan. Tujuannya agar kopi Merapi tetap eksis di wilayah Cangkringan, Sleman.

Kedai Kopi Merapi yang terletak di Kepuharjo, Cangkringan, Petung, Kepuharjo, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.Kompas.com/SHERLY PUSPITA Kedai Kopi Merapi yang terletak di Kepuharjo, Cangkringan, Petung, Kepuharjo, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menurutnya, saat itu kopi Merapi belum banyak dikenal orang, sehingga permasalahan utama para petani adalah pemasaran.

"Belum banyak yang kenal kopi Merapi, bahkan pernah menawarkan ke luar kota itu banyak ditipu orang," urainya.

Baca juga: Petani Sayur Merapi: Daripada Busuk Sia-sia, Lebih Baik Disedekahkan

Pada 2010, Gunung Merapi mengalami erupsi. Banyak tanaman kopi yang ada di Cangkringan, Sleman rusak akibat erupsi tersebut.

Namun, dibalik bencana ada berkah yang tersembunyi. Karena erupsi tersebut, Kopi Merapi menjadi banyak dikenal orang.

Sebab, erupsi Gunung Merapi 2010 menjadi perhatian. Banyak orang datang untuk membantu masyarakat Lereng Merapi yang menjadi korban erupsi.

"Karena erupsi banyak yang ke sini, dan tahu di sini ada kopi, disuguhi kopi dan ternyata enak. Ya menjadi momentum, Merapi menjadi berkah," tegasnya.

Suryono (54) warga Dusun Gondang Pusung, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman saat menunjukan produk kopinyaKOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA Suryono (54) warga Dusun Gondang Pusung, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman saat menunjukan produk kopinya
Seiring mulai dikenalnya kopi Merapi, harga per kilogramnya pun turut terangkat. Bahkan, per kilogramnya mencapai sekitar Rp 25.000.

"Itu sudah green bean,"ungkapnya.

Terlebih setelah hadirnya warung Kopi Merapi di Dusun Petung, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.

Warung yang didirikan oleh Sumijo ini ramai dikunjungi wisatawan. Kehadiran warung yang berada di lereng Merapi ini turut mendongkrak nama kopi Merapi.

"Terlebih, setelah Mas Mijo (Sumijo) membuat Warung Kopi Merapi di Petung (Dusun Petung, Kepuharjo). Kopi Merapi makin dikenal," tandasnya.

Baca juga: Jalak dan Rusa yang Jadi Tanda Alam Warga Lereng Merapi

Menurutnya, erupsi Merapi merupakan salah satu kendala. Namun bukan kendala yang utama.

"Ya kendala tapi bukan yang utama. Merapi itu justru berkah bagi saya," tegasnya.

Melihat potensi yang besar, Suryono juga mengajak beberapa warga Lereng Merapi untuk mengembangkan Kopi Merapi.

Sebab, dengan dianugerahi tanah yang subur, semua yang ditanam bisa menghasilkan termasuk kopi.

"Saya miris melihat kebun-kebun tidak terawat, banyak petani yang sudah beralih profesi. Saya beri motivasi teman-teman, meski punya profesi lain, tapi ada waktu khusus memperhatikan pertanian, sekarang ada enam orang yang sudah mulai kembali menekuni kopi," tandasnya.

Tak hanya mengajak, Suryono juga mengajari mereka membudidayakan kopi. Termasuk membantu entres.

"Hasil kopi tetangga juga saya terima, saya mendidik teman-teman petani sini, biasanya kan mereka petik racutan jadi hijau, merah, kuning semua kan hasilnya kurang bagus. Saya beli dengan harga yang pantas, Rp 6.000, biasanya mereka jual racutan itu Rp 3.500," ucapnya.

Baca juga: Dari Lereng Merapi ke Cantelan Pagar, Gerakan Berbagi Sayuran di Saat Pandemi

Suryono mengolah biji kopi dengan cara tradisional karena keterbatasan alat. Namun, dia kemudian mencari berbagai referensi dan menciptakan alat sendiri.

"Pakai kuali, roasting manual, banyak kendala, banyak suka dukanya. Karena keterbatasan dana, mau beli alat roasting nggak punya uang, saya menciptakan sendiri dengan melihat di YouTube," ucapnya.

Gunung Merapi.KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA Gunung Merapi.
Diakuinya awal-awal jualan hanya dibungkus plastik. Penjualnya juga hanya ke teman-temannya dan berbagai komunitas.

Namun saat ini, Suryono sudah menjual kopi dengan kemasan yang lebih menarik dan kekinian. Produk kopinya diberi nama Kopi Gondang.

"Packaging ini sekitar enam bulan lalu. Ada langganan saya yang menyarankan, packaging yang kedap udara. Anak saya tak suruh mencari bahannya, lalu saya membikin labelnya," urainya.

Baca juga: Aksi Pemuda Lereng Merapi Bersihkan Gunung Sambil Kenakan Kostum Superhero

Kopi milik Suryono saat ini pemasaranya sudah lebih luas. Bahkan sampai keluar DIY, mulai dari Tangerang, Bali, Madiun hingga Surabaya.

"Ya dengan saya bisa mengolah sendiri ada peningkatan lah dari pada jual green bean. Biasanya saya jual green bean itu Rp 30.000, Rp 40.000 per kilo, dengan saya jual berbentuk produk seperti ini Rp 125.000 per kilo, kalau 250 gram, Rp 35.000," pungkasnya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com