Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjalanan Panjang Guru Honorer Peroleh Hidup Layak

Kompas.com - 04/08/2020, 10:58 WIB
Reni Susanti,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com – Suara di seberang telepon terputus. Berganti dengan suara tangisan dan ucapan yang terbata-bata.

Suara tersebut berasal dari Heru Subiantoro (51 tahun), guru SMKN 1 Cimahi.

Ia tak bisa menahan tangis saat mendapat kabar surat keputusan (SK) Penetapan Penugasan Guru Non-PNS untuk tingkat SMA, SMK, dan SLB dikeluakan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, beberapa waktu lalu.

“Saya menangis saat menelepon Rizki kolega saya karena terharu. SK itu buah perjuangan,” ujar Heru saat dihubungi Kompas.com, Senin (3/6/2020).

Baca juga: Cerita Suardi Jadi Guru Honorer di Daerah Terpencil, Semangat Mengabdi meski Gaji Rp 720.000 Per 4 Bulan

Namun bukan berarti perjuangan berakhir. Karena SK gubernur tersebut hanya salah satu syarat agar para guru non-PNS bersertifikat pendidik ini mendapatkan tunjangan profesi dari pusat Rp 1,5 juta per bulan.

Heru berjuang mendapatkan tunjangan profesi tersebut karena terdesak kebutuhan. Sejak memutuskan keluar dari pekerjaannya di perusahaan swasta menjadi guru honorer 2008 lalu, kehidupannya penuh perjuangan.

“Dulu memilih jadi guru karena panggilan jiwa,” tutur Heru.

Heru menceritakan perjalanan hidupnya sebagai guru honorer. Ia beberapa kali pindah induk sekolah antara sekolah negeri dan swasta untuk mendapatkan tunjangan lebih baik.

Baca juga: Guru Honorer Menangis hingga Sujud Syukur Terima SK dan Uang Tunjangan

 

Bertahan dengan gaji kecil belasan tahun

Sebab jika mengandalkan gaji honor sangat kecil. Tahun 2008, gaji honornya hanya Rp 500.000 per bulan ditambah uang transport Rp 10.000 per hari. Saat ini, tahun 2020, gaji honorernya hanya Rp 800.000 per bulan.

Karena itu ia mengejar sertifikasi dengan berpindah-pindah induk sekolah ngajar karena terbentur jumlah jam mengajar. Hingga akhirnya ia mendapat honorarium Rp 2.040.000 per bulan dari provinsi.

“Jadi guru honor itu tidak enak, sering dikesampingkan. Banyak membatin. Kalau bukan panggilan jiwa, enggak akan bertahan lama,” ungkap Heru.

Jam mengajar sedikit, keteteran saat mengajar online

Contohnya, di sekolah negeri tempat menginduk, ia hanya mendapat sedikit jam pelajaran. Setiap dua hari per minggu, dari pagi sampai jam 10 WIB.

Untuk memenuhi persyaratan jam mengajar, ia akhirnya mengajar di sekolah swasta.

Belum lagi kebutuhan ekonomi keluarga yang terus meningkat, seiring pendidikan anaknya yang semakin tinggi.

Hingga kini ia bahkan belum bisa memutuskan apakah anak terbesarnya akan melanjutkan ke perguruan tinggi atau bekerja, karena keterbatasan ekonomi.

“Sampai sekarang saya masih nebeng di rumah mertua. Ke sekolah juga pakai motor. Kalau ada guru honorer pake mobil, itu biasanya suami istri bekerja. Kalau kaya saya, pakai motor saja,” ucap dia.

Bahkan untuk keperluan mengajar online, pada semester sebelumnya ia kerap numpang di temannya yang memasang wifi.

Sebab jika ia memaksakan diri menggunakan kuota, biayanya terlalu besar dan kualitasnya sering terputus.

“Kalau sekarang dah pasang wifi di rumah. Untuk bayarnya, nanti saya cari,” ungkapnya sambil tertawa.

Dapat SK Gubernur

Orang yang dikontak Heru adalah Rizki Aafari Rakhmat. Ia seorang Guru Tidak Tetap (GTT) SMAN 9 Bandung yang menginisiasi pembentukan Forum Guru Honorer Bersertifikasi Sekolah Negeri (FGHBSN).

Rizki mengatakan, forum itu dibentuk karena ribuan guru non-PNS bersertifikat pendidik sudah bertahun-tahun belum bisa mendapat TPG. Salah satu kendalanya, belum keluarnya SK Gubernur.

Karena itulah, para guru honorer ini berjuang bersama-sama mengawal SK gubernur tersebut, hingga akhirnya 1.461 guru honorer mendapat SK Penetapan Penugasan Guru Non-PNS untuk tingkat SMA, SMK dan SLB, 29 Juli 2020.

“Saat menerima SK, yang sepuh-sepuh ini sujud syukur dan menangis. Saya terharu dan akhirnya ikut menangis juga,” ungkap Rizki.

 

Pemerintah, perhatikanlah guru honorer...

Pemerintah, sambung Rizki, harus memerhatikan guru honorer. Apalagi yang sepuh-sepuh dan sudah mengabdi puluhan tahun.

Mereka tidak bisa mengikuti CPNS karea usia lebih dari 35 tahun. Sedangkan TPG sulit dicairkan karena persayaratannya yang sulit.

Sedangkan di sekolah, peran guru honorer sangat penting. Apalagi di tengah sedikitnya jumlah guru PNS di sekolah-sekolah.

Bahkan diprediksi akan terjadi darurat guru PNS tahun 2021-2025. Dari kekurangan 900.000 orang, formasinya hanya 100.000 orang.

“Untuk (mengisi) kekurangan ini yang diandalkan adalah guru honorer. Karena itu mereka harus diperhatikan,” tutur dia.

Gebrakan Ridwan Kamil

Gubernur Jabar, Ridwan Kamil mengatakan, Jabar menjadi provinsi pertama yang menetapkan SK tentang penugasan guru non-PNS bersertifikat pendidik.

“Saya tugaskan Kepala Dinas Pendidikan (Jabar) untuk mempercepat kerjanya terkait SK penetapan ini. Karena saya paham ini adalah yang ditunggu-tunggu (para guru),” ucap dia.

Dengan SK tersebut, para guru bisa mendapat dana tambahan Rp 1,5 juta, melengkapi honorarium Rp 2,040,000,00 dari APBD provinsi.

Pria yang akrab disapa Emil ini mengatakan, sebelum mendapat SK, 1.461 guru non-PNS guru non-PNS lebih dulu menjalani tes uji, seleksi, serta pendidikan dan pelatihan (diklat) Pendidikan Profesi Guru (PPG).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com