MEDAN, KOMPAS.com – Kekurangan gizi dalam waktu yang lama pada anak menyebabkan gagal tumbuh, lebih sering disebut stunting.
Di Sumatera Utara (Sumut), kasus stunting jumlahnya tinggi. Pada 2019, prevalensinya mencapai 30,11 persen, hanya berkurang 2,3 persen dibanding tahun sebelumnya.
Penderitaan kaum anak yang kebanyakan berasal dari keluarga miskin ini sangat meresahkan dan harus menjadi perhatian pemerintah.
Dalam workshop virtual Kupas Tuntas Stunting yang digelar Dharma Wanita Persatuan (DWP) Provinsi Sumut, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (USU) Evawany Y Aritonang selaku narasumber mengatakan, gangguan gizi dan kesehatan pada anak dapat menyebabkan tinggi badan saat lahir kurang dari 48 centimeter.
Baca juga: Cegah Stunting, Tanoto Foundation Kembangkan Program Pengasuhan Anak Usia Dini
Saat berumur enam bulan, tinggi badannya masih di bawah 63 centimeter dan ketika berusia 12 bulan di bawah 71 centimeter.
Normalnya, bayi lahir rata-rata memiliki tinggi badan sekitar 50 sampai 68 centimeter, saat enam bulan, tingginya sekitar 76 centimeter. Ketika 12 bulan, tingginya 97 centimeter dan saat berumur dua tahun tingginya mencapai 127 centimeter.
“Ciri-cirinya bisa terlihat dari fisik, pertumbuhannya lambat dibanding anak seusianya. Hasilnya buruk saat tes perhatian dan memori belajar, pertumbuhan gigi terhambat. Di usia delapan sampai sepuluh tahun, anak stunting biasanya lebih pendiam dan tidak banyak melakukan kontak mata dengan orang lain,” kata Evawany, Senin (20/7/2020).
Baca juga: Kolaborasi Mendukung Strategi Pengurangan Stunting Indonesia
Divisi Fetomaternal Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran USU Makmur Sitepu menambahkan, pencegahan stunting dimulai dari pra-kehamilan.
Menurutnya, kehamilan merupakan proses membangun janin sehingga perlu perhatian terhadap gizi ibu dan jabang bayinya. Begitu juga saat kehamilan hingga jelang melahirkan, perhatian terhadap gizi kandungan tidak boleh berkurang.