Berdasarkan pengamatan Yuli, pelaut asal Indonesia menjadi pekerja kelas terendah sebab tak berbekal SOP yang cukup sehingga tindakkannya kerap memancing emosi para pengambil kebijakan di kapal tersebut.
Berada di lautan lepas jauh dari tanah air, membentuknya menjadi pribadi tahan banting.
Dia mengaku kerap mendapat perlakuan yang keras dari ABK asal China.
"Mereka menyebut kami ABK asal Indonesia dengan panggilan laowei yang kira kira artinya orang rendahan," katanya.
Jika kinerja bagus, makanan dan perlakuan juga mengikuti.
Mereka yang kerap mendapat perlakuan tidak layak, biasanya karena kurang bisa membawa diri dalam bekerja di lautan dengan orang asing.
Baca juga: Kasus ABK Indonesia di Kapal Long Xing 629, Bareskrim Periksa Imigrasi Tanjung Priok dan Pemalang
Misalnya ketika berhasil mencapai target tangkapan, para ABK dipersilakan minum dan makan secukupnya tanpa terintimidasi.
"Minumnya air mineral kecuali yang kinerjanya buruk. Tahu sendirilah orang sana keras-keras," katanya.
Lebih menyakitkan lagi ketika Yuli mendapat pujian dari kapten kapal. Para ABK asal China, malah tak terima.
Yuli kemudian menjadi sasaran bogem mentah untuk menyalurkan kekesalan.
Berdasarkan perintah kapten, tiap satu ton cumi-cumi yang ditangkap ada bonus 80 USD.
Nyatanya sampai kontrak habis Yuli tidak pernah mendapatkan bagian apa pun. Padahal ketika dikalkulasi harusnya dia mendapat bonus untuk 20 ton hasil tangkapan kailnya.
Baca juga: Kemenlu: Asuransi Tiga ABK Kapal Long Xin 629 yang Meninggal Dapat Segera Diklaim
Kapal bermuatan 30 orang tersebut beroperasi di lautan antara Peru hingga Uruguay.
Tiap enam bulan sekali mereka pindah wilayah. Untuk menekan biaya kapal hanya bersandar satu tahun sekali.
"Tiap 100 ton bongkar muatan. Di tengah laut ada kapal collecting yang mengambil hasil tangkapan dan menyetor perbekalan selama di kapal," ucapnya.