Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah ABK Asal Demak di Kapal China, Dianggap Orang Rendahan dan Gaji Tak Sesuai Kontrak

Kompas.com - 13/05/2020, 16:31 WIB
Ari Widodo,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

DEMAK,KOMPAS.com - Beberapa mobil MPV tampak berjejer di rumah Yuli Triyanto (26), mantan anak buah kapal (ABK) pencari cumi-cumi berbendera China.

Namun, Yuli buru-buru membantah anggapan orang soal mobil di rumahnya adalah hasil dari dua tahun bekerja sebagai pelaut.

Beberapa kali dia malah berujar, uang hasilnya melaut selama dua tahun sudah tidak bersisa.

Baca juga: Bareskrim Temukan Bukti TPPO terkait Kasus ABK WNI di Kapal Long Xing

Setiap kali diajak berbincang tentang pengalamannya bekerja di kapal berbendera China, pandangan Yuli menerawang.

Meski sesekali suaranya tersendat menahan perasaan, tetapi dia secara runtut menceritakan kenangan selama dua tahun di kapal bernama Shouzu.

Kisahnya bermula setelah lulus dari sebuah sekolah menengah perikanan di tanah kelahirannya pada 2013.

Yuli yang sejak kecil terbiasa bekerja keras karena kondisi ekonomi kurang beruntung harus mulai berpikir tentang masa depannya.

Maka dia mendaftarkan diri ke penyalur tenaga kerja Indonesia di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Turut mendaftar juga dua temannya yang sebaya.

Baca juga: Bareskrim Periksa Direktur Agensi dari 8 ABK WNI di Kapal Ikan China

Yuli memulai petualangan hidup sebagai dengan mendaftar sebagai tenaga penangkap ikan dengan harapan meningkatkan taraf hidup.

"Kontrak saya dengan PT di Pemalang itu, tertera gaji 300 USD. Dibayarkan tiap tiga bulan sekali dikirimkan ke rumah," tutur Yuli di rumahnya, RT 3 RW 4, Dukuh Karangturi, Desa Karangrejo, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Rabu (13/5/2020).

Kenyataan yang diterima, kiriman yang sampai ke rumah dipotong 100 USD per bulan dengan janji akan diserahkan saat kontrak habis.

Pekan pertama di atas kapal, Yuli mengaku kelimpungan karena dari penyalur tidak mendapat edukasi apa pun tentang jenis pekerjaan maupun standar operasional prosedur (SOP) yang harus dilakoninya selama menjadi bagian dari kapal berukuran 2.000 gross ton tersebut.

"Awalnya pakai bahasa isyarat. Orang-orang China di atas kapal tempat saya bekerja itu tegas dan disiplin. Tanpa basa basi. Kerja dan kerja adalah keseharian mereka," ungkapnya dengan mimik serius.

Baca juga: Sempat Dipenjara dan Telantar, 15 ABK WNI di Iran Akhirnya Dipulangkan

Sebenarnya jika para ABK asal Indonesia sudah dibekali dengan petunjuk SOP, Yuli merasa perlakuan kasar mungkin bisa diminimalkan.

 

Dianggap Orang Rendahan dan Jadi Sasaran Kekesalan ABK Lain

Berdasarkan pengamatan Yuli, pelaut asal Indonesia menjadi pekerja kelas terendah sebab tak berbekal SOP yang cukup sehingga tindakkannya kerap memancing emosi para pengambil kebijakan di kapal tersebut.

Berada di lautan lepas jauh dari tanah air, membentuknya menjadi pribadi tahan banting.

Dia mengaku kerap mendapat perlakuan yang keras dari ABK asal China.

"Mereka menyebut kami ABK asal Indonesia dengan panggilan laowei yang kira kira artinya orang rendahan," katanya.

Jika kinerja bagus, makanan dan perlakuan juga mengikuti.

Mereka yang kerap mendapat perlakuan tidak layak, biasanya karena kurang bisa membawa diri dalam bekerja di lautan dengan orang asing.

Baca juga: Kasus ABK Indonesia di Kapal Long Xing 629, Bareskrim Periksa Imigrasi Tanjung Priok dan Pemalang

Misalnya ketika berhasil mencapai target tangkapan, para ABK dipersilakan minum dan makan secukupnya tanpa terintimidasi.

"Minumnya air mineral kecuali yang kinerjanya buruk. Tahu sendirilah orang sana keras-keras," katanya.

Lebih menyakitkan lagi ketika Yuli mendapat pujian dari kapten kapal. Para ABK asal China, malah tak terima.  

Yuli kemudian menjadi sasaran bogem mentah untuk menyalurkan kekesalan.

Bonus Tak Cair

Berdasarkan perintah kapten, tiap satu ton cumi-cumi yang ditangkap ada bonus 80 USD.

Nyatanya sampai kontrak habis Yuli tidak pernah mendapatkan bagian apa pun. Padahal ketika dikalkulasi harusnya dia mendapat bonus untuk 20 ton hasil tangkapan kailnya.

Baca juga: Kemenlu: Asuransi Tiga ABK Kapal Long Xin 629 yang Meninggal Dapat Segera Diklaim

Kapal bermuatan 30 orang tersebut beroperasi di lautan antara Peru hingga Uruguay.

Tiap enam bulan sekali mereka pindah wilayah. Untuk menekan biaya kapal hanya bersandar satu tahun sekali.

"Tiap 100 ton bongkar muatan. Di tengah laut ada kapal collecting yang mengambil hasil tangkapan dan menyetor perbekalan selama di kapal," ucapnya.

 

Yuli bersama para ABK di kapal China saat merayakan lebaran  tahun 2017Dokumentasi Pribadi Yuli Triyanto Yuli bersama para ABK di kapal China saat merayakan lebaran tahun 2017
Sempat Dikira Sudah Meninggal

Matanya agak berkaca saat mengenang tahun pertamanya di kapal.

Selama setahun penuh Yuli dan awak kapal asal Indonesia lainnya dilarang berkomunikasi dengan keluarga.

Bahkan, keluarga di kampung halaman hampir yakin kalau Yuli meninggal di laut.

Kawan Yuli sesama ABK asal Indonesia bahkan tidak menerima gaji pada 12 bulan pertamanya bekerja.

Meski bisa makan tiga kali sehari tetapi menu yang disajikan sama rasa, sama rata.

Baca juga: Perbudakan ABK, Ini Langkah yang Diambil KKP

Mayoritas daging babi yang disajikan. Tiap pagi makan bubur cair. Tidak ada sajian khusus untuk ABK Indonesia yang mayoritas muslim.

Adapun fasilitas kesehatan di kapal tersebut, ada seorang tenaga medis yang bertugas melayani empat kapal.

Gaji Dua Tahun Melaut Tak Bersisa

Setelah masa kontraknya habis, Yuli pulang ke kampung halamannya.

Saat itu, dia mendapatkan kenyataan pahit uang yang terkumpul selama ini hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari keluarganya.

Selain itu, uang hasil kerja kerasnya juga habis untuk berobat kakaknya yang sakit.

"Lebih lebih potongan gaji yang tertahan di penyalur proses pencairannya lama," ujarnya.

Yuli menampik, anggapan pelaut itu pulang dengan uang banyak.

Baca juga: Kuasa Hukum Perjuangkan Ganti Rugi ABK yang Dilarung di Laut

Dia merasa lebih beruntung karena meskipun tak dibayar penuh, pihak penyalur masih bertanggung jawab untuk mentransfer gajinya melalui rekening.

"Banyak kawan dan kenalan saya yang tertipu penyalur. Bertahun-tahun susah payah memeras keringat tak menghasilkan apa apa." katanya menghela napas.

Saat Kompas.com bergurau dengan mengatakan dia sukses setelah melaut, Yuli pun kembali mengungkap kenyataan sisa hasil kerja selama dua tahun di lautan tidak cukup untuk membeli apa pun.

Rumah yang ditempatinya adalah warisan nenek. Mobil yang berjejer di luar rumahnya adalah hasil usahanya merintis rental mobil.

"Modal awalnya mobil satu, itupun masih menganggur. Jadi fasilitas yang saat ini saya nikmati justru hasil kerja setelah melaut. Hasil jadi ABK tak ada bekasnya," ujarnya lagi lagi tanpa senyum.

Baca juga: Menlu: China Sedang Investigasi Perusahaan yang Mempekerjakan ABK WNI

Dia hanya berharap, demi para penerusnya yang berminat mengadu nasib di kapal menjadi TKI hendaknya Pemerintah Indonesia yang melindungi hak hak warga negara sehingga tak mendapat perlakuan buruk dari orang asing.

Jangan lagi ada proses berbelit belit dalam penyaluran tenaga kerja. Yuli juga berharap pengawasan terhadap proses percaloan di bidang tenaga kerja makin diperketat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com