Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bila Korban Covid-19 Menjadi Pelaku Penularan

Kompas.com - 21/04/2020, 19:52 WIB
Windoro Adi,
Heru Margianto

Tim Redaksi


KUNINGAN, KOMPAS.com - Bencana menimbulkan tindakan anti sosial. Tidak jarang hal ini berkembang menjadi tindak kejahatan serius. Kohesi sosial yang retak dan lemah, menjadi lahan subur konflik, trauma, dan gangguan sosial.

Yang mengkhawatirkan adalah bila dalam bencana pandemik Covid-19 ini, banyak korban berubah menjadi pelaku. Korban dengan sengaja menebar teror, menularkan Covid – 19 ke lingkungannya karena frustrasi.

Demikian rangkuman diskusi akademik melalui telekonferensi yang digelar Irjen Mohammad Fadil Imran Senin (20/4/2020) malam. Fadil Imran saat ini adalah Staf Ahli Sosial Budaya Kapolri.

Diskusi diikuti belasan peserta yang sebagian besar adalah mahasiswa pasca sarjana dan calon doktor kriminologi di Tanah Air, maupun di luar negeri. Acara dimoderatori oleh Prof Adrianus Meliala.

Fadil berpendapat, sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, belum memiliki perangkat hukum yang jelas yang mampu mengantisipasi ketertiban sosial akibat berubahnya pasien Covid-19 menjadi pelaku kejahatan.

Sebab, bencana dunia ini tak pernah diduga sebelumnya. Hanya negara negara otoriter yang mampu memobilisasi massa agar tunduk pada perintah negara.

“Undang Undang RI nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pada pasal 9 ayat 1 dengan pemberian sanksi setahun penjara, tidak mengatur soal perubahan pasien menjadi pelaku kejahatan,” ujar Fadil.

Polri, lanjut dia, butuh perangkat undang undang beserta turunannya sebagai landasan kerja Polri.

Ia berharap, setelah masa pandemik Covid-19 berakhir, pemerintah termasuk Polri, dan DPR-RI, bisa segera membuat peraturan perundangan mengenai hal ini.

“Bukan hanya menyangkut korban menjadi pelaku dalam konteks Covid-19, tetapi peraturan perundangan baru ini diharapkan bisa diterapkan dalam setiap peristiwa bencana yang memicu berubahnya korban menjadi pelaku kejahatan,” ucap Fadil.

Tidak hitam putih

Dia berpendapat, aturan main mengendalikan korban yang menjadi pelaku semasa pandemik Covid-19, harus jelas. Sebab, proses perubahan dari korban menjadi pelaku kejahatan, tidak berlangsung hitam putih seperti pada kasus Narkoba, atau pada kasus Kelompok Anarko, atau pada kasus penimbunan dan pencurian masker.

“Kasus Narkoba sudah jelas. Korban yang menjual Narkoba, menjadi pelaku. Sanksi hukumnya jelas. Penanganan kasus Kelompok Anarko, atau kasus korupsi dana bantuan pun, bukan hal baru untuk dituntaskan Polri. Perangkat hukumnya pun, sudah lengkap. Personil Polri sudah sangat siap menghadapi kasus seperti ini,” kata dia.

Menurut Fadil, dibutuhkan tela’ah antar disiplin ilmu dalam mengendalikan perubahan korban menjadi pelaku, termasuk untuk memulihkan para pelakunya. Kriminologi tak bisa bekerja sendiri. Harus ada dukungan dari ilmui-lmu sosial lain, termasuk ilmu ekonomi. Dengan demikian, Polri bisa membedah persoalan ini secara komprehensif, menyeluruh, lengkap.

Dalam diskusi tersebut, beberapa peserta menyampaikan kritik terhadap Polri yang dinilai lebih cenderung melakukan pendekatan persuasif diiringi bantuan sosial, ketimbang penindakan hukum.

 

Simulasi penanganan orang dengan virus corona di depan Mapolres Ngawi. Melalui latihan tersebut diharapkan personil Polisi memahami SOP penganan orang dengan virus corona sesuai protokol kesehatan sehingga tidak terpapar virus.KOMPAS.COM/DOK POLRES NGAWI Simulasi penanganan orang dengan virus corona di depan Mapolres Ngawi. Melalui latihan tersebut diharapkan personil Polisi memahami SOP penganan orang dengan virus corona sesuai protokol kesehatan sehingga tidak terpapar virus.

Peserta lain menanyakan mengenai sejauh mana Polri meningkatkan kompetensinya dengan menggunakan disiplin ilmu ilmu sosial lainnya, termasuk pendekatan sosial dan budaya.

Menanggapi hal itu, Fadil menjelaskan, Polri melakukan langkah tersebut untuk meredam terjadinya civil unrest. Menjaga ketertiban sosial, serta menyiapkan sejumlah langkah antisipasi bila masyarakat bereaksi karena frustrasi sosial.

Selain itu, Polri pun seperti warga lainnya, rentan terhadap Covid-19. Oleh karena itu anggota Polri pun wajib melindungi diri.

“Kita harus mampu menyelamatkan diri kita dulu sebelum menyelamatkan orang lain,” tutur Fadil.

Suasana hati

Ia membantah seolah Polri tidak melakukan penegakan hukum terhadap kebijakan pemerintah menanggulangi Covid-19.

“Polri sudah dan terus memelihara ketertiban sosial tahap demi tahap, step by step. Dari tindakan lunak menuju tindakan keras sesuai situasi yang berkembang,” ucap Fadil.

Menurut Fadil, ini justru menunjukkan, Polri memahami suasana hati rakyat saat ini.

“Kita semua saat ini dalam kondisi tertekan secara psikososial, dan ekonomi,” tandas Fadil.

Ia kembali mengingatkan, bencana cenderung menghasilkan ketidakstabilan dan ketidaknormalan sosial. Anomali bisa muncul di tengah masyarakat yang frustrasi menghadapi krisis.

Polri, lanjut Fadil, tak boleh gegabah. Polri harus lentur. Apa yang sudah dilakukan Polri saat ini justru menunjukkan, mau menerapkan ilmu ilmu sosial lainnya di luar kriminologi.

“Setiap langkah antara lain telah melalui pertimbangan antropologis, sosiologis, dan ekonomi,” ucapnya.

Fadil berharap, eksplorasi dan kolaborasi keilmuan yang didapat Polri saat menghadapi pandemik Covid-19 ini akan membuat Polri semakin tangguh dan cerdas, karena bertambah “jam terbang” nya menghadapi pengalaman baru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com