Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eselon III dan IV Diganti Robot, Dedi Mulyadi: Itu Bentuk Sindiran Pak Jokowi ke PNS

Kompas.com - 29/11/2019, 11:04 WIB
Putra Prima Perdana,
Farid Assifa

Tim Redaksi

 

BANDUNG, KOMPAS.com - Anggota DPR RI Dedi Mulyadi mengatakan, pernyataan Presiden Jokowi soal penghapusan pejabat eselon III dan IV dengan diganti kecerdasan buatan tak ditafsirkan secara detonatif manusia diganti robot.

Menurut Dedi, pernyatan Jokowi tersebut dimaknai bahwa para pegawai negeri itu harus memiliki produktivitas tinggi.

"Artinya Pak Jokowi mengarahkan PNS harus memiliki prodiktivitas yang tinggi. Itu semacam menyindir, masa kerjanya kalah sama robot," kata Dedi kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Jumat (29/11/2019).

Sebab, kata Dedi, saat ini, banyak PNS terutama di eselon III dan IV tidak produktif sehingga hasil pelayanan yang dicapai sedikit, namun anggaran yang keluar sangat boros.

Dijelaskan, lahirnya pegawai golongan III dengan jumlah banyak merupakan salah salah satu problem dari gemuknya birokrasi di Indonesia. Sebab, rata-rata PNS lulusan SMA ikut penyetaraan S1. Kemudian mereka menempati di kelompok administrasi.

Baca juga: Jokowi: Eselon 3 dan 4 Kita Potong, Ganti dengan Kecerdasan Buatan

Akibatnya, kata Dedi, pekerjaan PNS di kelompok administrasi kian banyak tetapi hasil kerjanya tidak tampak. Sementara di sisi lain, pekerjaan teknis nyaris kekurangan pegawai.

Saat ini, lanjut Dedi, kantor pemerintah tak memiliki ahli teknis dan aplikatif yang dibutuhkan secara riil, seperti ahli listrik, taman, ahli bangunan dan lainnya. Kebanyakan pegawai menempati pos-pos administrasi.

Akibatnya, seluruh pekerjaan teknis diserahkan ke pihak ketiga. Padahal itu pekerjaannya kecil. Dampaknya, pemborosan anggaran menjadi tinggi karena semua pekerjaan kecil yang sebenarnya bisa dilakukan pegawai diserahkan ke pihak ketiga.

"Sedangkan para pegawainya sibuk pada administrasi yang tak memiiki implikasi pelayanan," kata mantan bupati Purwakarta dua periode itu.

Jumlah golongan yang terlalu banyak berdampak pada antrenya pegawai untuk mengejar eselonisasi, mulai eselon IVA, IAV B, III A, III B dan lainnya.

Kalau antreannya tak tercapai, kata Dedi, biasanya mereka frustasi dan seringkali berubah menjadi oposisi di internal pemerintah. Kerjanya tidak baik, tetapi setiap hari ngoceh dan ngomel.

"Kadang kolaorbasi dengan LSM tak jelas, menyampaikan apa saja di kantor. Itulah keksiruhan di berbagai OPD daerah, bisa jadi di provinsi juga sama. Bahkan bisa jadi di pusat juga modelnya begitu," kata ketua DPD Golkar Jawa Barat ini.

Dampak dari itu, capaian-capaian kinerja pemerintah menurun. Jadi pada akhirnya pekerjaan-pekerjaan itu dikerjakan oleh pegawai level kecil, bukan besar. Sebab, pegawai level besar hanya berkutat pada wilayah administrasi. Bekerja hanya menjadi tukang paraf dan tanda tangan.

"Apalagi misalnya tidak dia tak punya ide inovasi, maka nyaris mati. Fungsi dan perannya hanya sekadar serap anggaran, bukan berpikir membangun inovasi," kata wakil ketua Komisi IV DPR RI ini.

Baca juga: Tak Semua Eselon III, IV, dan V Kena Dampak Kebijakan Penyederhanaan

Akhirnya, lanjut Dedi, struktur orgaisasi tata kerja bukan didasarkan pada kebutuhan, tetapi hanya untuk menampung jabatan. Fenomena itu bisa terjadi di daerah sampai pusat. Sehingga karena struktur organiasi pemerintah hanya untuk menampung jumlah jabatan, maka dampaknya adalah pemembengkakan anggaran.

"Pejabat yang tak produktif tetapi mendapat tunjangan rutin, tunjangan kendaran dan pakaian dinas dan lainnya. Sehingga dari tahun ke tahun, anggaran pemerintah tak tidak efektif. Tidak ada kerangka pembangunan yang kuat berdasakan anggaran karena uangnya habis untuk biaya rutin," katanya.

Miskin struktur, kaya fungsi

Untuk membenahi masalah tersebut, Dedi mengusulkan untuk membangun organisasi perangkat daerah dengan konsep miskin struktur tetapi kaya fungsi.

"Dulu penyusunan SOTK (susunan organiasi dan tata kerja) itu adalah istilahnya miskin struktur kaya fungsi. Jadi sedikit struktur, tapi fungsinya kuat," kata Dedi.

Jika konsep itu dijalankan, maka konsekuensinya adalah penghapusan eselon III dan IV itu harus dimulai dengan penggabungan kelembagaan, baik di pusat maupun aderah. Lembaga yang tidak efektif digabung saja menjadi satu kelembagaan.

Setelah itu, kata Dedi, maka diseleksilah orang-orang yang memiliki kualitas mumpuni di atas rata-rata untuk memimpin. Kemudian, diseraplah orang-orang kelompok fungsional.

"Nah itu nanti direkrutlah pegawai-pegawai yang mumpuni. Pegawai yang tak lagi mumpuni diberikan tawaran pensiun dan lainnya. Itu baru efektif," katanya.

Namun untuk melakukan konsep seperti itu, lanjut Dedi, maka aturan kepegawaian terlebih dahulu dibenahi. Atau kalau perlu aturan kepegawaian direvisi sehingga tidak menimbulkan dampak hukum di kemudian hari.

"Misalnya, pegawai yang tak prduktif kemudian dimutasi, nanti yang bersangkutan akan menggugat ke PTUN. Itu sering terjadi," kata Dedi.

Skema bonus

Selain perombakan birokrasi, untuk mengejar target produksi, Dedi mengusulkan perubahan metodologi pengukuran kinerja PNS melalui pendekatan produksi. Skema tunjangan bonus dibuat mirip perusahaan. Bonus diberikan pada akhir tahun berdasarkan produksi yang dicapai oleh pegawai itu.

"Sekarang yang berlaku adalah PNS dapat beberapa bonus akhir tahun, mulai gaji ketigabelas, keempatbelas, yang tak ada kaitannya dengan produktivitas," katanya.

Baca juga: Dedi Mulyadi: Bali Tetap Menjadi Bali, Tak Berubah Jadi Jakarta

Dedi menjelaskan, pendekatan produksi yang menjadi tolak ukur kinerja pegawai bukan hanya penyerapan anggaran tetapi juga produktivitas anggaran.

Lembaga yang mengukur produktivitas pegawai adalah yang memiliki fungsi pengawasan, seperti Inspektorat dan BPK.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com