Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MA Batalkan Program Wajib Kerja Dokter Spesialis, Pengiriman Dokter ke Indonesia Timur Turun Drastis

Kompas.com - 02/11/2019, 08:48 WIB
Rachmawati

Editor


'Perlu banyak adaptasi'

Rizky Aniza sudah setahun dan empat bulan bekerja di RSUD Scholoo Keyen dan keinginan mengabdi di Tanah Papua sudah muncul sejak lulus kuliah dari Kedokteran Umum.

"Cuma waktu itu kan masih sendiri dan perempuan juga, jadi nggak diizinkan oleh orangtua. Nah saat sekolah spesialis, ketemu pasangan dokter spesialis anak yang juga sama-sama mau ke Papua, akhirnya bisa ke sini," katanya kepada BBC.

"Dan saya memang mencari tempat yang belum ada dokter jiwa-nya."

Baca juga: Pasca-gugurnya Anggota Polisi yang PAM Pemilu, Dinkes Bintan Siagakan Tenaga Medis di Seluruh PPK

Selama bekerja di Papua, Rizky harus banyak beradaptasi. Mulai dari menghadapi karakter pasien, ketersediaan obat, sampai cara kerja birokrasi.

Kata dia, obat-obatan di Papua sangat terbatas jenisnya. Kalaupun minta dikirimkan obat dari farmasi, jarang dikabulkan.

"Pabrik farmasi mengaku sulit sekali menyediakan obat-obat karena menjangkau ke sini mahal. Jadi saya harus kreatif mau pakai obat apa, karena pilihannya sedikit dan terbatas," imbuhnya.

Baca juga: Menkes Minta Tenaga Kesehatan di Wamena Pakai Seragam dan Penanda

"Pasien di sini, mungkin karena minim pendidikan, harus berulang-ulang kali disampaikan. Malah tidak menutup kemungkinan menolak karena belum paham," sambung Rizky.

Kendati begitu, ia dan suami tidak menyesal mendedikasikan hidup mereka di daerah yang jauh dari kota, meskipun ia mengakui menjalaninya tidaklah mudah.

"Ya butuh penyesuaian, tapi tidak sampai menyesal."

Baca juga: Pembatasan Akses Medsos Dinilai Hambat Kerja Dokter dan Tenaga Kesehatan


'Mencari formula baru'

Tim Dokter Departemen Bedah akultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo menunjukkan penyaring udara portabel Surgeons of UNS (SUNS) saat sosialisasi di kampus setempat, Solo, Jawa Tengah, Rabu (18/9/2019). ANTARA FOTO/Maulana Surya Tim Dokter Departemen Bedah akultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo menunjukkan penyaring udara portabel Surgeons of UNS (SUNS) saat sosialisasi di kampus setempat, Solo, Jawa Tengah, Rabu (18/9/2019).
Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian PB IDI, Pujo Hartono, menyebut wilayah Indonesia timur sangat kekurangan dokter.

Kebanyakan para dokter yang baru lulus, hanya mau ditempatkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan.

Pudjo mengaku tak bisa menyalahkan mereka, sebab kesenjangan di kota-kota Indonesia bagian barat dengan timur, terlampau jauh. Belum lagi pandangan beberapa dokter muda yang menilai "setiap orang bebas memilih bekerja yang nyaman".

Baca juga: Kalahkan Dokter, Mahasiswa Koas FKUI Raih Penghargaan di Forum Internasional

"Apalagi pendidikan dokter spesialis itu kan mengeluarkan uang sendiri, jadi kalau ada pilihan yang lebih nyaman, pasti cari yang lebih nyaman juga," ujar Pudjo kepada BBC.

Untuk mengatasi kekurangan tenaga medis di wilayah terpencil, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS).

Tertera di situ, dokter spesialis wajib kerja satu tahun dan harus mau ditempatkan di rumah sakit daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Atau rumah sakit rujukan regional dan provinsi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com