NGGAPULU (dinamai berdasarkan sebuah puncak berselimut gletser di pegunungan Jayawijaya, Papua) adalah sebuah kapal laut buatan Jerman dan bagian dari armada kapal PELNI, perusahaan kapal feri Indonesia.
Selama enam hari dan lima malam, kapal laut dengan panjang 146,5 meter yang mampu mengangkut sekitar 2.170 penumpang ini menjadi rumah bagi Tim Ceritalah, ketika mereka melakukan perjalanan dari Surabaya di Jawa Timur ke Makassar, Bau Bau, Ambon, Banda Neira, dan Tual di Kepulauan Kei.
Ini adalah sebuah perjalanan yang menempuh jarak hampir 3.000 mil (sekitar 4.800 kilometer) melintasi garis pemisah geografis yang bernama Garis Wallace.
Pelayaran ini membawa Tim Ceritalah dari salah satu pulau terpadat di dunia dengan kombinasi khas Asia berupa monyet, gajah, dan harimau ke perairan yang memukau dan jarang didatangi di pesisir selatan Papua dengan flora dan fauna khas Australasia – kakatua, cendrawasih, dan marsupialia.
Baca juga: Pelni Incar Pendapatan Rp 1 Miliar dari Pengoperasian Kapal Wisata di Labuan Bajo
Begitu penumpang naik ke kapal feri yang menjulang tinggi berlantai delapan di tengah hiruk pikuk kuli angkut yang berlalu-lalang, barang bawaan, peti, dan barang pribadi, Nggapulu menjadi mikrokosmos dari Indonesia sendiri.
Ada orang Jawa, Sumatera, Bugis (suku pedagang yang tersebar di banyak bagian timur negara kepulauan ini), Papua, dan Ambon. Kelompok keluarga, pasangan yang berbulan madu, pedagang, dan mahasiswa menggambarkan seluruh bagian dari Indonesia kontemporer.
Pada tahun 2015, PELNI (sebagai respons terhadap meningkatnya kompetisi di sektor perjalanan udara) mengubah dirinya menjadi layanan feri yang hanya menyediakan kelas ekonomi.
Hilanglah sudah kabin privat dan hirarki di mana artinya percampuran tidak lagi terelakkan. Para penumpang ditampung dalam barisan ranjang (atau tempat tidur) dengan matras hijau plastik di dalam beberapa aula besar terbuka di masing-masing delapan deknya.
Namun, namanya orang Indonesia, walaupun dalam kondisi berdesakan, belum lagi kamar mandi yang – secara mengejutkan – primitif, mereka selalu saja bisa menjaga keteraturan dan selera humor.
Tentunya, para pelancong reguler adalah yang paling siap. Karena sudah mengetahui apa yang akan mereka dapatkan, mereka membawa tenda kecil dan tidur di bagian yang terisolasi dalam kapal – bahkan sebagian dari mereka tidur di tangga.
PELNI didirikan pada tahun 1950. Saat ini, mereka memiliki armada dengan 79 kapal dalam berbagai ukuran yang beroperasi di rute-rute yang terisolir di Indonesia, mulai dari Gunungsitoli di Kepulauan Mentawai di ujung barat, hingga ke Miangas, yang dekat dengan pulau Mindanao Filipina di sebelah utara.
Dengan fasilitas yang seadanya, bisa dimengerti kalau tarifnya pun bersaing. Perjalanan Surabaya-Tual yang diikuti oleh Tim Ceritalah (rute perjalanan dua minggu yang dimulai dari Jakarta dan berakhir di Sorong) hanya memakan biaya Rp 547.000 (atau 38 dollar AS).
Baca juga: Bangun Kapal Wisata, Pelni Gelontorkan Dana Rp 6 Miliar
Sebagai pembanding, tiket pesawat terbang memakan biaya sekitar Rp 3.000.000 (212 dollar AS).
Pada akhir tahun 2000-an, PELNI mengangkut sekitar delapan juta penumpang. Tahun lalu, pada 2018, volume penumpang anjlok hingga hanya 3,6 juta penumpang.
Meski demikian, setelah merugi selama beberapa dekade, perusahaan ini akhirnya menghasilkan keuntungan. Ini merupakan sebuah bagian penting dari rencana infrastruktur ambisius dan terutama rencana “Tol Laut” (untuk meningkatkan konektivitas maritim Indonesia) Presiden Joko Widodo.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.