Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Enam Hari Bersama Pelni Melabuhi Perairan Indonesia

Kompas.com - 23/10/2019, 16:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

NGGAPULU (dinamai berdasarkan sebuah puncak berselimut gletser di pegunungan Jayawijaya, Papua) adalah sebuah kapal laut buatan Jerman dan bagian dari armada kapal PELNI, perusahaan kapal feri Indonesia.

Selama enam hari dan lima malam, kapal laut dengan panjang 146,5 meter yang mampu mengangkut sekitar 2.170 penumpang ini menjadi rumah bagi Tim Ceritalah, ketika mereka melakukan perjalanan dari Surabaya di Jawa Timur ke Makassar, Bau Bau, Ambon, Banda Neira, dan Tual di Kepulauan Kei.

Ini adalah sebuah perjalanan yang menempuh jarak hampir 3.000 mil (sekitar 4.800 kilometer) melintasi garis pemisah geografis yang bernama Garis Wallace.

Pelayaran ini membawa Tim Ceritalah dari salah satu pulau terpadat di dunia dengan kombinasi khas Asia berupa monyet, gajah, dan harimau ke perairan yang memukau dan jarang didatangi di pesisir selatan Papua dengan flora dan fauna khas Australasia – kakatua, cendrawasih, dan marsupialia.

Baca juga: Pelni Incar Pendapatan Rp 1 Miliar dari Pengoperasian Kapal Wisata di Labuan Bajo

Begitu penumpang naik ke kapal feri yang menjulang tinggi berlantai delapan di tengah hiruk pikuk kuli angkut yang berlalu-lalang, barang bawaan, peti, dan barang pribadi, Nggapulu menjadi mikrokosmos dari Indonesia sendiri.

Ada orang Jawa, Sumatera, Bugis (suku pedagang yang tersebar di banyak bagian timur negara kepulauan ini), Papua, dan Ambon. Kelompok keluarga, pasangan yang berbulan madu, pedagang, dan mahasiswa menggambarkan seluruh bagian dari Indonesia kontemporer.

Pada tahun 2015, PELNI (sebagai respons terhadap meningkatnya kompetisi di sektor perjalanan udara) mengubah dirinya menjadi layanan feri yang hanya menyediakan kelas ekonomi.

Hilanglah sudah kabin privat dan hirarki di mana artinya percampuran tidak lagi terelakkan. Para penumpang ditampung dalam barisan ranjang (atau tempat tidur) dengan matras hijau plastik di dalam beberapa aula besar terbuka di masing-masing delapan deknya.

Namun, namanya orang Indonesia, walaupun dalam kondisi berdesakan, belum lagi kamar mandi yang – secara mengejutkan – primitif, mereka selalu saja bisa menjaga keteraturan dan selera humor.

Tentunya, para pelancong reguler adalah yang paling siap. Karena sudah mengetahui apa yang akan mereka dapatkan, mereka membawa tenda kecil dan tidur di bagian yang terisolasi dalam kapal – bahkan sebagian dari mereka tidur di tangga.

PELNI didirikan pada tahun 1950. Saat ini, mereka memiliki armada dengan 79 kapal dalam berbagai ukuran yang beroperasi di rute-rute yang terisolir di Indonesia, mulai dari Gunungsitoli di Kepulauan Mentawai di ujung barat, hingga ke Miangas, yang dekat dengan pulau Mindanao Filipina di sebelah utara.

Dengan fasilitas yang seadanya, bisa dimengerti kalau tarifnya pun bersaing. Perjalanan Surabaya-Tual yang diikuti oleh Tim Ceritalah (rute perjalanan dua minggu yang dimulai dari Jakarta dan berakhir di Sorong) hanya memakan biaya Rp 547.000 (atau 38 dollar AS).

Baca juga: Bangun Kapal Wisata, Pelni Gelontorkan Dana Rp 6 Miliar

Sebagai pembanding, tiket pesawat terbang memakan biaya sekitar Rp 3.000.000 (212 dollar AS).

Pada akhir tahun 2000-an, PELNI mengangkut sekitar delapan juta penumpang. Tahun lalu, pada 2018, volume penumpang anjlok hingga hanya 3,6 juta penumpang.

Meski demikian, setelah merugi selama beberapa dekade, perusahaan ini akhirnya menghasilkan keuntungan. Ini merupakan sebuah bagian penting dari rencana infrastruktur ambisius dan terutama rencana “Tol Laut” (untuk meningkatkan konektivitas maritim Indonesia) Presiden Joko Widodo.

Pada masa lalu, sebelum jasa feri disederhanakan, para penumpang belum tentu mendapatkan tempat duduk atau tempat tidur sehingga kerap muncul baku hantam ketika para penumpang bergelut untuk mendapatkan tempat di fasilitas yang terbatas.

Sekarang, dengan tempat tidur yang sudah ditentukan, kepadatan tersebut menjadi lebih longgar.

Meski demikian, seperti dikatakan Darni, seorang ibu rumah tangga berusia 30 tahun dari Sulawesi Selatan, “PELNI harus memprioritaskan kamar mandi. Kamar mandinya kotor dan tidak higienis, banyak kecoak.”

Makanan tiga kali sehari yang termasuk dalam paket pun kurang memuaskan. Kebanyakan penumpang membawa makanan mereka sendiri atau membeli bahan makanan dari kantin. Ada juga pedagang keliling yang menjual mi instan dan buah-buahan.

Pada awalnya, laut lepas nan luas adalah sebuah pemandangan yang memukau, terutama saat senja atau subuh. Namun, setelah sekian lama memandang ke kejauhan, Anda akan sadar bahwa hanya itu pemandangan yang bisa dilihat.

Meski pemandangan tersebut dapat menjadi pengingat yang kuat bahwa Indonesia adalah negara besar, pelayaran ini juga melelahkan dan melemahkan.

Di tengah kebosanan, sebagaimana kebanyakan orang, para penumpan saling mengandalkan satu sama lain untuk sekadar hiburan, pertemanan, dan pelipur lara yang mengadakan line-dance dadakan.

Mabuk laut pun tentu tidak dapat dihindari. Perairan antara Bau Bau dan Ambon sangatlah sukar untuk ditaklukkan. Beberapa dari penumpang melakukan pengobatan tradisional seperti bekam.

Waktu shalat juga membuat orang berkumpul bersama. Sungguh, pemandangan geladak kapal yang penuh saat shalat Jumat adalah sesuatu yang memukau.

Ibnu Rihamdani (19), seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Buton, yang berasal dari Sulawesi Tengah bercerita kepada Tim Ceritalah, “Yang saya suka dari pelayaran adalah kita bisa bertemu dengan orang baru. Hubungannya pun nyaris seperti persaudaraan.”

Namun demikian, persahabatan ini kerapkali terlupakan begitu penumpang turun dan kembali ke kehidupan mereka masing-masing. Tetap saja, penumpang baru naik dan proses yang sama pun terulang.

Nggapulu adalah sebuah metafora yang elegan dan kuat untuk Indonesia, saat Joko Widodo, presiden ketujuh Indonesia – seorang pengusaha mebel dari Jawa Tengah – disumpah untuk periode kedua jabtannya sebagai presiden.

Meski kerap dihunjam badai dan angin ribut (baik itu secara politis, ekonomi, maupun bencana alam), 267 juta penduduk Indonesia menemukan kenyamanan dalam iman mereka masing-masing, pun demikian dengan persaudaraan di antara mereka.

Semua itu terangkum dalam dentuman musik dangdut maupun dalam aroma kretek yang terkadang bikin mual.

Pengembaraan yang hampir sepekan penuh dari Jawa ke Kepulauan Rempah memberikan kesan luasnya lautan Indonesia, terlebih ketika sadar bahwa lebih jauh lagi ke timur, masih ada Kepulauan Aru dan Merauke di Papua.

Jadi, meskipun tidak semuanya baik, pengalaman luar biasa bernama Indonesia dapat dirasakan di Nggapulu itu sendiri, dengan 2.170 penumpang yang bersatu dalam kerasnya hidup di kapal dan keinginan agar lekas sampai tujuan: ini adalah sesuatu yang sepadan.
Dan tentu saja, semuanya tetap jalan perlahan.

 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com