Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengungsi Nduga Papua, Melahirkan di Tengah Konflik Senjata dan Sang Anak Diberi Nama Pengungsi

Kompas.com - 07/08/2019, 06:11 WIB
Rachmawati

Editor

Dia mencontohkan, anak-anak yang mengungsi di Walesi disuruh membayar oleh orang yang memiliki lahan ketika kedapatan menangkap ikan. Pengungsi lain, ketika sedang mencari kayu bakar, ditegur oleh warga setempat.

"Ini menunjukkan bahwa mereka tidak aman, di sana operasi [militer] kemudian di sini mereka tinggal, tapi tidak aman."

Belum lagi, banyak yang pengungsi yang merasa trauma dengan kehadiran militer. Itu sebabnya, beberapa dari mereka menolak pemberian bantuan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, karena dianggap penyaluran bantuan itu melibatkan militer.

Baca juga: Ketua DPR: Permintaan Tarik TNI/Polri dari Nduga Harus Dibahas Bersama

Hal ini, menurut Theo, tak lepas dari trauma pengungsi atas keberadaan militer yang melakukan pengejaran terhadap kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya.

Selain itu, kepercayaan adat mereka bahwa mereka tidak bisa menerima bantuan dari 'pihak musuh'.

"Budaya orang di sini kalau baku perang dengan musuh itu kita tidak bisa ambil, secara adat itu susah. Nanti mereka akan sakit dan mati semua."

Namun, keterlibatan militer dalam pendistibusian bantuan, ditepis oleh Komandan Kodim 1702/Jayawijaya Letkol Inf Chandra Dianto.

Dia menyebut, pengerahan militer di Nduga adalah untuk pengamanan pembangunan proyek jalan Trans Papua dari gangguan kelompok bersenjata.

Baca juga: Tokoh di Balik Konflik Nduga, Siapa Egianus Kogoya?

"Tentunya, terjadi eskalasi atau terjadi kontak tembak itu adalah salah satu tugas dalam rangka mengamankan pekerja."

"Terjadinya kontak tembak itu karena munculnya gangguan-gangguan. Sehingga untuk mengurangi bantuan, mau tidak mau tugas TNI adalah untuk mengamankan, sehingga kontak tembak tidak bisa dihindarkan," tutur Chandra.

Konflik di Nduga, menurut tokoh HAM Papua yang juga seorang imam Katolik Pastor John Djonga, tak lepas dari trauma masa lalu yang terjadi sejak tahun 1960an, saat sekelompok orang menghendaki kemerdekaan Papua dari NKRI.

Sejak itu, warga Nduga hidup dibawah pengalaman kekerasan militer, hingga saat ini.

"Oleh karena itu menurut saya sekarang sudah tidak waktu lagi pihak pemerintah Indonesia merasa mereka yang paling benar, OPM juga merasa mereka yang paling benar, karena berjuang untuk Papua merdeka. Tapi Papua merdeka dengan kematian sebanyak ini bagaimana itu?," ujarnya.

"Saya berpikir sebagai orang gereja bagaimana kedua pihak ini harus berunding agar tidak ada lagi korban-korban," tegas Pastor John.

Baca juga: Tanggapan Gubernur Papua soal Konflik Nduga dan Warga yang Mengungsi

Menilik sejarah masa lalu orang Nduga dan konflik yang terjadi di wilayah yang menjadi pemekaran Kabupaten Jayawijaya itu, dia memandang pemerintah maupun pemimpin militer belum memahami masalah Nduga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com