Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Warga Gunungkidul Berbagi dengan Hewan Ternak karena Sulitnya Dapatkan Air Bersih

Kompas.com - 08/07/2019, 07:30 WIB
Markus Yuwono,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, merupakan wilayah yang memiliki bentang alam karst atau batuan berkapur. Sebagian masyarakatnya sejak lama tidak mampu membuat sumur sendiri, karena kondisi alamnya yang tidak memungkinkan. 

Secara turun temurun, kekurangan air bersih adalah sesuatu yang selalu dirasakan masyarakat bahkan hingga kini. Upaya dari pemerintah untuk mengatasi kesulitan air bersih dengan PDAM dan Spamdes nyatanya belum bisa menjangkau seluruh wilayah.

Sebagian dari mereka masih mengandalkan telaga, air hujan, dan membeli air bersih dari tangki swasta. 

Salah satunya di Desa Karangawen, Kecamatan Girisubo. Di desa ini, sambungan air bersih PDAM belum sepenuhnya bisa dirasakan masyarakat.

 

Salah satu warga Dusun Tlasih, Desa Karangawen, Sunaman (47) menceritakan, telah merasakan kekeringan sejak kecil.

Sunaman ingat betul semasa kecil sekitar awal tahun 1980-an, saat musim kemarau dirinya dan warga desa harus mencari sumber air ke telaga yang berada di desa tetangga.

"Kalau dari Telaga Tileng atau Telaga Puring itu sekitar 7 km berangkat jam 05.00, sampai di lokasi jam 06.30 WIB. Di sana mandi dan membawa jeriken untuk persiapan memasak siang harinya," katanya kepada Kompas.com di Telaga Karang Kidul, Desa Karangawen, Kamis (4/7/2019). 

Baca juga: Kekeringan di Karawang, Warga Gali Sumur di Sungai dan Ambil Air Pukul 2 Dini Hari

"Kalau haus di jalan biasanya minum air telaga yang dibawa itu. Sampai sekarang saya masih sehat," ucapnya. 

Telaga itu menjadi andalan masyarakat untuk mencuci baju, mandi, memandikan ternak, serta untuk kebutuhan air minum.

Selain telaga, warga juga mengandalkan tandon air bersih atau bak penampungan air hujan (PAH) yang terbuat dari campuran tanah liat dan genteng yang dihancurkan. Setiap keluarga memiliki  dua PAH.

"Di sana untuk mencuci, di sini mandi, seberang ada sapi ya biasa saja. Jika ingin dikonsumsi biasanya dimasukkan dalam PAH agar kotorannya mengendap," ujarnya. 

Sunaman mengatakan, sulitnya air membuat dia jarang mandi. Sampai akhirnya orangtuanya menyekolahkan dirinya ke Kota Wonosari.

"Salah satu alasan orangtua saya menyekolahkan ke SMP Bopkri Wonosari agar bisa mandi setiap pagi, karena tinggal di Wonosari saya bebas mau mandi berapa kali," ujarnya.

Baca juga: Lebih dari 100 Ribu Warga Gunungkidul Terdampak Kekeringan

Sebenarnya di wilayah Dusun Tlasih sudah ada aliran pipa yang masuk untuk menyalurkan air bersih sejak tahun 1993. Namun, selama puluhan tahun pipa hanya dilalui angin, karena air bersih tidak mengalir.

Sekitar April 2018, Sunaman dan masyarakat mengajukan ke PDAM dan akhirnya dipenuhi. 

Sunaman mengatakan, selum musim kemarau tiba, warga menyimpan hasil panen. Hal itu dilakukan agar ketika kekeringan melanda, warga masih bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Hasil panen baru dibuka saat musim kemarau. Sebab, lahan pertanian di sana hanya bisa ditanami saat musim penghujan. Selain itu ternak juga menjadi menjadi andalan jika kondisi ekonomi sedang sulit.  

Kondisi tak berubah

Hingga saat ini kondisi di desa itu banyak berubah. Kompas.com yangmenyambangi desa itu melihat sejumlah ladang di Desa Karangawen hanya ditumbuhi pohon turi dan rumput gajah yang biasa digunakan untuk pakan ternak. Sebagian lainnya memanen ketela yang diolah menjadi gaplek. 

Sementara di Telaga Karang Kidul, sejumlah warga mencuci pakaian, dan mandi.

Belasan jeriken tertata di pinggir telaga di bawah rimbunnya pohon beringin menunggu sang pemilik mengambilnya.

"Biasanya pagi dan sore warga mengambil air di telaga. Sebagian besar untuk minum ternak," kata Roslan, salah satu warga Dusun Ngaglik, Desa Karangawen.

Roslan harus setiap hari bolak balik dengan jarak 1 km untuk mengambil air ke telaga yang digunakan minum ternak.

Namun, untuk kebutuhan rumah tangga, Roslan membeli air dari tangki swasta seharga Rp 100.000.

"Untuk minum kami masih mengandalkan air hujan, karena air dari tangki zat kapurnya tinggi. Kalau air hujan malah bersih," ucapnya.

Hal serupa juga dilakukan warga Desa Karawangawen lainnya, Sumargito (63).

Tanpa alas kaki, pria ini menyusuri jalan setapak menuju telaga guna mengambil air untuk minum kedua sapi peliharannya. Jarak yang harus dia tempuh sejauh 3 km.

"Saya selalu mengambil air setiap harinya, kadang dua kali ataupun satu kali," ujarnya. 

Jalanan yang dialalui tidak mudah, harus melewati jalan yang naik dan turun. Tanpa mengangkut beban pun cukup berat untuk dilewati.

Belum menyasar masalah pokok

Anggota DPRD Gunungkidul Fraksi Golkar, Heri Nugroho mengatakan, dari laporan penelitian para ahli, wilayah Gunungkidul sudah dihuni ribuan tahun. Di desa ini tersedia air bersih di bawah permukaan air.

Namun, hingga saat ini pemerintah masih fokus terhadap droping air bersih dan belum menyasar masalah pokok yaitu menyediakan air bersih.  

Menurut dia, pemerintah seharusnya memiliki target yang jelas, karena anggaran yang digulirkan dari pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat cukup besar.

"Hingga 2029 nanti penyertaan modal ke PDAM setiap tahun sebesar Rp 5 miliar. Di tahun-tahun sebelumnya pernah mencapai Rp 15 miliar per tahun," katanya. 

Hanya saja ke depan pihaknya meminta kepada eksekutif agar lebih fokus pada debit air. Seberapa pun banyak sambungan ke rumah tangga, jika debit air kecil pasti bermasalah.

"Ini penting karena hingga sekarang masih ditemukan kasus air hanya nyala pada malam hari atau bergilir. Tanpa mengurangi lebarnya akses air kepada masyarakat, persoalan debit harus diperhatikan," kata Heri

Saat hendak dikonfirmasi, Direktur Utama PDAM Tirta Handayani Gunungkidul Isnawan Fibriyanto belum bisa dihubungi.

Namun, beberapa waktu lalu Isnawan pernah menyebut, pihaknya telah melakukan peningkatan kapasitas sejumlah sumber air guna menghadapi kemarau.

Misalnya di cabang Wonosari dengan kapasitas sumber 160 liter per detik ditambah 30 liter per detik menjadi 180 liter per detik.

Cabang Seropan kapasitas sumber 130 liter per detik ada tambahan 50 liter per detik jadi 180 liter per detik, Cabang Bribin kapasitas 65 liter per detik ada tambahan 40 liter per detik jadi 105 liter per detik, dan cabang Baron kapasitas 100 liter per detik ada tambahan 20 liter per detik  jadi 120 liter per detik. 

Diakuinya meski sudah ada peningkatan kapasitas, tapi belum bisa menjangkau wilayah dengan geografis wilayah yang tinggi.

"Meski ada tambahan debit, itu hanya memaksimalkan lokasi yang posisi rendah. Untuk wilayah rendah yang biasanya misalnya 10 kubik perhari masyarakat meningkatkan pemakaian 20 kubik. Namun, untuk lokasi yang lebih tinggi tetap sulit mengakses," ucapnya. 

Isnawan mengatakan pihaknya terus berupaya mencari sumber-sumber air yang dekat dengan lokasi kekeringan.

"Kita terus berupaya mencari sumber air terdekat dari lokasi kekeringan, sehingga mudah dalam distribusi air bersih ke masyarakat," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com