Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Karsin Raup Untung dari Setan Merah yang Invasif dan Berbahaya

Kompas.com - 27/06/2019, 06:00 WIB
Dani Julius Zebua,
Khairina

Tim Redaksi

KULON PROGO, KOMPAS.com — Ikan red devil (Cichlasoma labiatum) satu dari ratusan jenis ikan yang dilarang masuk dan beredar di negeri ini.

Sekalipun terlarang, ikan ini berkembang pesat dan mendominasi isi Waduk Sermo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Setan merah menguasai habitat air Sermo. Jumlahnya seolah tidak habis ketika ditangkap.

Baca juga: Keracunan Massal di Cianjur, 3 Penjual Ikan Pindang Diperiksa

Berlimpahnya red devil sebuah keuntungan bagi Karsin, 53 tahun, warga Dusun Soka, Desa Hargowilis. Ia malah mengolahnya menjadi camilan nikmat, kaya protein, dan menghasilkan uang.

Dapur 20-an meter persegi di belakang rumahnya bisa menghasilkan 40 kilogram ikan red devil renyah setiap hari.

Tidak cuma ikan yang krispi, tetapi juga kerupuk amplang rasa ikan, abon ikan, dan cheese stick ikan. Semua terbungkus plastik dengan merek Lohan Mina Rasa.

"Tidak ada yang terbuang. Sisa ikan bahkan jadi pakan bebek yang perlu protein. Kami memanfaatkan bebek untuk diambil telurnya," kata Karsin, Selasa (25/6/2019).

Bahan bakunya tidak pernah habis. Pria asal Pati, Jawa Tengah, ini menerima 80 kilogram ikan saban hari dari nelayan ataupun dari warga sekitaran Sermo. Ia beli Rp 6.000 per kg dan hasil olahannya dijual Rp 60.000-Rp 70.000 per kg.

"Musim Ramadhan sampai produksi 100 kg. Tinggi permintaan sampai tidak sanggup," kata Karsin, Senin (24/6/2019).

Terjun ke bisnis ini bisa dikata tidak sengaja. Warga sering mengeluh bahwa red devil lebih banyak jadi tangkapan atau hasil memancing ketimbang ikan lain, seperti nila. Keluhan ini lantaran harga ikan ini sangat murah di pasaran. Daging sedikit, tekstur tulang dan sirip yang keras membuat sedikit peminatnya.

Ikan pun dikembalikan ke waduk ketika tertangkap, dijadikan pakan hewan, atau bahkan dibuang begitu saja.

"Tidak ada yang mau mengonsumsi karena tulangnya dan siripnya sangat keras dan tajam. Ikan ini pun dibuang," katanya.

Karsin berpikir sebaliknya. Ia melihat berlimpahnya ikan justru peluang usaha. Ia mencoba memulai usaha keripik renyah si Setan Merah sejak 2006. Hasilnya meledak dan tersebar ke mana-mana sejak Karsin memperoleh perizinan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) pada 2007.

Bisnis ini dikerjakan bersama Suwartinah, 52, istrinya. Bisnis ini mengubah jalan hidup mereka drastis. Karsin tidak lagi berkutat di bengkel. Suwartinah tidak lagi menambal sulam penghasilan dengan kerja keras.

Rumah yang tadinya gedhek kini jadi dinding batako yang lebih lebar. "Saya saja dulu pernah jadi ikut jadi buruh di pekerjaan bangunan," kata Suwartinah.


Kendalikan ikan invasif

Red devil bukan ikan lokal perairan Sermo. Karsin memperkirakan ikan berkembang di Sermo lebih dari 10 tahun. Belum ada penelitian penyebab ikan asal perairan Amerika Tengah ini berkembang lantas menguasai habitat Sermo.

Karsin mengungkap, banyak orang memperkirakan ikan ini ikut berkembang seiring usaha budidaya ikan dengan cara karamba di masa silam.

"Ada yang mengaitkan dengan kegiatan warga membuat karamba di danau di waktu dulu. Ikan red devil kecil kadang tak bisa dibedakan dengan nila atau lainnya, lepas ke danau," kata Karsin.

Baca juga: Cerita Pengusaha Muda Olahan Ikan Roa Tembus Beasiswa Kuliah di AS

Setan merah berkembang. Populasi ikan asli Sermo pun terdesak. Kemampuan Karsin memproduksi 40 kg ikan kriuk setiap hari menunjukkan bagaimana ikan ini sudah menguasai waduk.

Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Kelautan (BKIPM) melihat kekalahan populasi ikan lokal dari sisi hasil tangkapan nelayan di mana ikan nila yang sebenarnya bersifat invasif pun tidak mudah dipanen oleh nelayan setempat sekarang ini. Bahkan, wader, tawes, dan nilem serasa punah dari danau seluas 157 hektar ini.

Staf Stasiun Karantina Ikan BKIPM Yogyakarta, Himawan Achmad, mengatakan terdapat 152 jenis akuatik yang invasif dan berbahaya. Semuanya dilarang masuk Indonesia, seperti jenis ikan predator aligator, piranha, hingga arapaima. Sebanyak 78 jenis di antaranya sudah beredar, termasuk setan merah yang menguasai Sermo.

Kemampuannya menyingkirkan habitat lokal membuat mereka disebut invasif dan berbahaya.

Setelah berkembang seperti ini, pemerintah melakukan beragam cara untuk mengendalikan setan merah. Eradikasi cara yang sering dilakukan, baik berupa penangkapan, pemusnahan, maupun pelepasliaran kompetitor red devil.

BKIPM Yogyakarta belum lama ini menggelar lomba menangkap red devil menggunakan jala, jaring, dan pancing pada 18-21 Juni 2019.

"Cara seperti ini menjadi bagian dari upaya kita terus mengendalikan berkembangnya ikan," kata Himawan.

Hasilnya mencengangkan ketika ratusan orang ikut lomba ini. Ada penjala dan penjaring memperoleh 50-80 kilogram sekali tangkap. Pemancing bisa sampai 8 kg per orang.

Baca juga: Puluhan Warga di Cianjur Keracunan Ikan Pindang, 2 Orang Meninggal

Selain menangkap, juga dilakukan cara lain berupa pelepasan benih ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan disukai masyarakat, seperti melepas 1,2 juta ekor bibit ikan nilem dan mujaer ke waduk, Senin (24/06/2019).

Dengan melepas kompetitor, mereka mengharapkan populasi ikan endemik di Sermo kembali tumbuh.

"Tentunya kami berharap agar masyarakat di sekitaran lokasi ini nantinya bisa memanfaatkan ikan yang lebih memiliki nilai ekonomis," kata Rina, Kepala BKIPM, di pelepasan benih ikan.

Kehadiran industri pengolahan ikan dengan bahan baku ikan invasif ini juga jadi salah satu bagian dari upaya mengendalikan populasi ikan. Nelayan menangkap ikan dan disetor ke industri pengolahan.

Namun, cara ini dirasa belum optimal karena sangat tergantung dengan permintaan pasar yang fluktuatif.

Sampai sekarang, usaha mengendalikan dan menekan perkembangan red devil pun tidak pernah berhenti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com